This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, 30 January 2015

Penggunaan Sertifikat CIE (Cambridge International Examination)

Kurikulum internasional yang paling umum dipakai di sekolah formal Indonesia adalah Cambridge rilisan Cambridge International Examinations (CIE). Dari Badan CIE inilah muncul beberapa kualifikasi internasional yang diakui puluhan negara di seluruh dunia. Urutan kualifikasi dari dasar ke atas adalah sebagai berikut:
  • Cambridge Primary Checkpoint: untuk menguji murid kelas 6SD (di akhir Sekolah Dasar)
  • Cambridge Checkpoint: untuk menguji murid setara kelas VIII atau SMP 2
  • Cambridge IGCSE: untuk menguji murid setara kelas X atau SMA 1
  • Cambridge AS/A Level: biasanya untuk murid setara kelas XI dan XII
Kedua Checkpoint lebih berfungsi sebagai ujian pemenuhan standar, untuk melihat apakah pembelajaran siswa mencapai tujuan kurikulum terkait. Sedangkan, IGCSE dan AS/A Level berfungsi sebagai sertifikasi internasional yang diakui di luar negeri. Sertifikasi internasional inilah yang akan saya bahas lebih lanjut karena banyak siswa dan orangtua yang bingung tentang penggunaannya.
“Katanya lulusan IGCSE bisa langsung masuk kuliah?”
“Lulusan IGCSE atau AS/A Level bisa kuliah di Indonesia nggak?”
Dan sebagainya.
Mari kita perhatikan rinciannya di bawah ini.
WNI dan Pendidikan Dalam Negeri
Per peraturan saat ini, WNI yang ingin mengenyam pendidikan tinggi di dalam negeri harus memegang ijazah lokal/nasional, atau menyetarakan ijazah non-nasionalnya di Kementerian Pendidikan (atau ikut mengambil ujian lokal). Hal ini berlaku bagi siswa WNI yang mau masuk ke universitas dalam negeri, misalnya, Universitas Trisakti atau Universitas Gadjah Mada. Indonesia hanya menyetarakan A/AS Level setara mata pelajaran (mapel) SMA. IGCSE tidak dianggap sebagai mapel SMA.
Pengecualian adalah jika siswa mau melanjutkan ke pendidikan tinggi di dalam negeri yang merupakan institusi luar negeri, misalnya, La Salle College, RMIT, Monash University, INTI College, atau Jakarta International College. Institusi-institusi ini menerima lulusan IGCSE dan AS/A Level secara langsung, tentu saja dengan persyaratan spesifiknya masing-masing.
Penggunaan IGCSE
Ada beberapa cara penggunaan IGCSE di ranah institusi luar negeri. Sangat banyak program Diploma yang menerima lulusan IGCSE, misalnya sekolah tinggi politeknik di Singapura dan Malaysia. Bahkan beberapa program Sarjana Muda (Bachelor) juga menerima lulusan IGCSE, contohnya Bachelor of Arts (Communication) University at Buffalo, New York yang berkampus cabang di SIM Global Education, Singapura.
Tetapi jika siswa ingin memperoleh gelar Bachelor, biasanya jembatan yang harus dijalani setelah mendapatkan IGCSE adalah pilihan di bawah ini:
  • Jika sudah tahu jurusan yang ingin diambil nantinya: Ambil program Diploma (1-2 tahun) yang sejalan dengan jurusan Bachelor yang ingin diambil kemudian transfer kredit ke program Bachelor. Catatan: Semakin banyak persamaan mata pelajaran Diploma-Bachelor, semakin banyak yang bisa ditransfer, semakin efisien pula waktu belajar di program Bachelor. Siswa dapat memperoleh gelar Bachelor kurang lebih 3-4 tahun setelah mendapatkan IGCSE.
  • Jika belum memutuskan penjurusan Bachelor: Ambil program Foundation (biasanya bertema umum) selama setahun, kemudian transfer kredit ke program Bachelor. Biasanya kredit yang dapat ditransfer masih seputar mata kuliah pokok seperti Bahasa Inggris, Ilmu Komunikasi, dsb.
  • Jika nilai IGCSE sangat memuaskan: Beberapa institusi bisa jadi memberikan exemption atau pengecualian sehingga siswa dapat langsung masuk program Bachelor tertentu mereka. Hal ini perlu ditanyakan langsung ke institusi terkait.
Kedua proses pertama diatas biasanya adalah persyaratan umum (dan termudah) untuk masuk ke universitas dan mengambil Bachelor di berbagai negara. Proses ketiga diatas merupakan pengecualian bagi para siswa yang nilai IGCSE-nya cukup baik untuk diterima langsung ke program Bachelor (dan biasanya hanya beberapa universitas yang akan mempertimbangkan hal tersebut).
Mata pelajaran IGCSE English juga dapat digunakan untuk menggantikan TOEFL/IELTS. Secara umum, English as First Language (EFL) dengan nilai min. C atau English as Second Language (ESL) dengan nilai min. B sudah dianggap lulus TOEFL/IELTS.
Dengan IGCSE dan melanjutkan pendidikan di institusi luar negeri, siswa akan setidaknya “menghemat” waktu pendidikan formalnya selama 1-2 tahun (ketika anak lain masih harus bersekolah SMA 2 dan 3, ia sudah mulai menjajaki persiapan kuliah yang kemudian kredit mapelnya bisa ditransfer ke kuliah dan memotong waktu kuliah). Bahkan jika bisa langsung masuk Bachelor, siswa dapat menghemat hingga 4 tahun.
Penggunaan AS/A Level
Untuk pendaftaran langsung ke Bachelor, rata-rata institusi meminta beberapa mata pelajaran tingkat AS/A Level. Misalnya, untuk mendaftar masuk ke Bachelor of Commerce di University of New South Wales (UNSW), Australia, UNSW akan melihat tiga nilai terbaik A Level siswa dan melihat apakah jumlah totalnya mencapai nilai min. 14 (nilai A*=6, A=5, B=4). Dengan demikian, berarti siswa perlu mendapatkan min. 3 nilai A di ujian A Levelnya.
Ada juga beberapa institusi yang meminta campuran nilai A/AS Level dengan IGCSE level seperti Boston University, AS. Siswa yang lulus IGCSE Math dapat langsung mengambil kelas Algebra dan Geometry, dan IGCSE English as First Language dengan nilai min. B tidak perlu lagi mengikuti TOEFL/IELTS. Namun setiap jurusan memiliki persyaratan A Level berbeda-beda. Beberapa mapel AS/A Level dengan nilai min. C juga dapat ditransfer ke mata kuliah tertentu sehingga siswa tidak perlu lagi mengambil mata kuliah tersebut.
Kesimpulan
Memegang sertifikasi Cambridge, IGCSE dan/atau AS/A Level secara keseluruhan memang dapat memangkas waktu belajar di institusi pendidikan formal tetapi hal tersebut hanya berlaku jika siswa melanjutkan pendidikan di institusi luar negeri (baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri). Jika siswa ada kemungkinan melanjutkan pendidikan di institusi dalam negeri, lebih baik siswa juga memegang ijazah lokal/nasional. Lebih baik memegang ijazah lebih, daripada memegang kurang.
—————————————-
Referensi

Thursday, 29 January 2015

Seven Golden Etiquettes for Seekers of Knowledge

It was related by Anas bin Malik that the Prophet ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) said:
“Seeking knowledge is obligatory upon every Muslim.” [Sunan Ibn Mâjah]
However, as with all things in our Deen, there are proper ways of going about doing things.
We have a certain way of taking wudhu, making salaah, tasbeeh, zikr, fasting and hajj.
Here we give you 7 etiquettes for knowledge seekers in sha Allah:

1. Have a sincere intention

An example is: I am studying to help the ummah with this beneficial knowledge, to enlighten
my intellectual growth and that of others with this beneficial knowledge, drawing closer to Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) as a result.
It is very important that we have good intentions because it is narrated that Umar bin al-Khattab, raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him), said: I heard the Messenger of Allah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him), say:
“Actions are (judged) by motives/ intention (niyyah), so each man will have what he intended. Thus, he whose migration (hijrah) was to Allah and His Messenger, his migration is to Allah and His Messenger; but he whose migration was for some worldly thing he might gain, or for a wife he might marry, his migration is to that for which he migrated.” [Al-Bukhari]

2. Study with ihsaan (excellence)

Grand intentions require grand efforts. We must strive to study to the best of our ability and
aim for excellence, not perfection. Research shows that perfectionism triggers anxiety and leads
to procrastination. Alhamdulillah, Allahsubḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) prescribed excellence and not perfection in all our works. 
Prophet Muhammad ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) said:
“Verily, Allah has prescribed Ihsan towards everything. Therefore, when you kill, kill in the best manner. When you slaughter, slaughter in the best manner. Let one of you sharpen his knife and give ease to his animal.” [Muslim]

3. Exhibit tawakkul (reliance upon Allah)

While doing our best, we must rely upon Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) for the results. We must trust that He will make things easy for us and will grant us success.
This is an essential etiquette for seeking knowledge and in every endeavor we undertake because
we acknowledge that any success that comes our way is through Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) alone and is not a result of our efforts. Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) has said:
“I am as my slave expects Me to be.” (Agreed upon). Imam an-Nawawi (may Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) be pleased with him) commented on this, saying: “The scholars say that expecting the best of Allahis to expect that He will have Mercy on him and relieve him of hardship.”

4. Eliminate bad habits or manners 

and stay away from sins and the routes that lead to them. Imam Shaafi’i complained to his 
teacher, Waqi,about his weak memory and his teacher advised him to stop committing sins,
adding that knowledge is the light of Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) and Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) does not grant His light to sinners. 
Thus, we must identify our bad habits or sins and work hard to eliminate them from our lives, while seeking Allah’s subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) help.

5. Thank Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He)

 especially when you have learned something well or have completed your study. Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) says that if we are thankful to Him, He will grant us more out of His bounty:
“And (remember) when your Lord proclaimed: “If you give thanks (by accepting Faith and worshiping none but Allah), I will give you more (of My Blessings), but if you are thankless (i.e. disbelievers), verily! My Punishment is indeed severe.” [Quran: Chapter 14, verse 7]

6. Engage in istighfaar and dhikrullah  

Ibn Taymiyah (may Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) have mercy on him) said:
“When I am confused in my understanding of an issue in religion, I forthwith beseech Allah to 
forgive me one thousand times – maybe a little more or maybe a little less. 
Then, Allah opens what was closed for me and I come to understand.”

7. Make dua to Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He)

to help you to study with ihsaan and to make things easy for you. To combat laziness, supplicate:
Allaahumma innee a‛oodhu bika minal-hammi wal-ḥazani, wal-‛ajzi wal-kasali, wal-bukhli, wal-jubni, wa ḍala‛id-dayni, wa ghalabatir-rijaal”
 meaning: O Allah, I take refuge in You from anxiety, and sorrow, and weakness,
and laziness, and miserliness, and cowardice, and the burden of debts and from being 
overpowered by men
.
If you encounter any difficulty, supplicate:
Allahumma la sahla illa ma ja’altahu sahla, wa ‘anta taj-alul hazna idha shi’ta sahla”
meaning: O Allah! There is nothing easy except what You make easy, and You make the difficult 
easy if it be Your Will.
Supplicate to Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) to increase you in knowledge:
” Rabbi zidnee ‘ilma”meaning “O my Lord, increase me in knowledge.”
May all seekers of knowledge find the path to Jannah in sha Allah. What are your tips for seeking beneficial knowledge? Share with us by leaving a comment below!
About the Author:
Brother Ali Ruqaya is one of the pioneers of the Muslim community in the Greater Toronto Area (GTA). He has helped to establish some of the longest running Muslim schools in the GTA, such as the ISNA Elementary School and Madresatul Banaat Almuslimaat. Brother Ali has been serving the Muslim community in the GTA and abroad for over 38 years. Some of his volunteer work includes visiting the sick in hospitals across the GTA, and building bridges by sitting on an interfaith committee. Brother Ali also gives khutbas (sermons) regularly in different mosques around the GTA and speaks at fundraisers and other events. Currently, Brother Ali is the Head Counselor at Madresatul Banaat Almuslimaat. He often travels to the Middle East and other parts of the world to raise funds for the school as well as to support those that are less fortunate in our community to attend the madrasa at a subsidy.


Resource: http://productivemuslim.com/seeking-knowledge/#ixzz3QBRofyug 

Wednesday, 28 January 2015

Memperdaya Bangsa Mellodramatic

Di antara materi halaqoh yang menarik bagi saya adalah saat mengupas esensi kepribadian. Personality atausyakhsiyyah tidak ada sangkut pautnya dengan penampilan faisik dan asesoris seseorang. Suatu hal yang penting untuk dipahami karena dalam kehidupan kita sering dikecoh dengan penampilan fisik seseorang. Cantik tapi penipu, ganteng tapi serigala (ups ini judul sinetron), atau glamor padahal kere dan hutang dimana-mana.
Wolf-in-sheep-
Kepribadian juga mesti dilihat secara holistik. Bukan hanya sebahagian sisi kehidupan seseorang. Ia amat ditentukan oleh pola pikir dan pola sikap seseorang. Pola pikir adalah cara seseorang menilai sesuatu berlandaskan satu atau beberapa asas kehidupan. Sementara pola sikap adalah cara seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya – jasmani atau naluri – berdasarkan satu atau sejumlah asas kehidupan.

Seseorang dikatakan memiliki pribadi yang ajeg, integral, manakala pola pikir dan pola sikapnya sinkron pada satu landasan kehidupan. Maka kehati-hatian menjadi penting manakala menilai apakah seseorang itu baik secara keseluruhan ataukah hanya pada bagian tertentu saja.
Kita seringkali terlalu mudah melabeli seseorang itu ‘baik’ atau ‘jahat’ hanya karena sebagian sikapnya belaka. Misalnya, orang sering terkecoh dengan pemberitaan media massa sekuler bahwa mujahidin itu kejam, karena disorot sering menenteng senjata (lha kan lagi di medan perang! Kalo sedang di pasar mungkin manggul pikulan sayur!), berjenggot lebat, celana cingkrang. Lengkap sudah profil mujahidin digambarkan kasar dan barbar.
Padahal ketika Meutya Hafid saat masih menjadi jurnalis Metro TV bertugas ke Irak lalu ditawan pasukan mujahidin. Ia tidak mengalami tindak kekerasan sama sekali. Jangankan dilecehkan, seujung kukupun ia tidak dianiaya. Bandingkan dengan pasukan AS yang menginvasi Irak. Serangkaian kejahatan barbar kerap mereka lakukan; menembaki remaja dan orang tua, dan melakukan pemerkosaan terhadap kaum wanita. Tapi hampir tak ada yang mengutuk kedatangan tentara asing ke Irak maupun Pakistan dan Afghanistan.
Untuk urusan menilai kepribadian, ada satu karakter yang begitu disukai dan mudah mengundang simpati orang Indonesia; karakter mellodramatic. Karakter-karakter macam itu banyak bermunculan di drama dan film-film Indonesia. Mulai dari Ratapan Anak Tiri sampai Emak Ingin Naik Haji. Figur sentralnya dominan berkarakter seperti itu. Semakin mengenaskan, semakin dicintai publik. Sampai-sampai dunia perfilman Indonesia punya satu aktor bernama Agus Melasz, karena tampangnya yang memelas.
Celakanya, hal ini juga terjadi di dunia politik. Publik Indonesia juga gampang jatuh hati pada figur semacam itu. Parpol dan politisi yang sering dicela, dihujat, dan dihina – meskipun sebenarnya dia layak dihujat – justru semakin digandrungi, elektabilitasnya semakin naik.
PDIP dan Megawati naik pamor pasca reformasi karena posisinya dianiaya rezim Orde Baru. Selain itu ia Megawati memang tampil seperti ibu-ibu kebanyakan, membuat simpati publik meningkat. Berikutnya SBY bisa mengalahkan Megawati dan PDIP karena publik melihat ia disingkirkan oleh Presiden Megawati. Berikutnya Jokowi mengalahkan Prabowo karena tampilannya yang bersahaja, merakyat karena gemar blusukan, dan juga sering dihujat parpol-parpol Islam.
Maka sejahat dan sebejat apapun seorang politisi tapi ia bisa meyakinkan khalayak dengan gaya memelas, polos, lugu, bersahaja — meski mungkin uangnya banyak –, elektabilitasnya bisa tinggi. Apalagi bila dibantu pencitraan lewat media massa bayaran semakin lengkaplah citra baik dirinya.
Saya jadi ingat tokoh Vito Corleone dalam film God Father. Tokoh yang diperankan Marlon Brando ini tampil tenang, tidak beringas dan kebapakan, meski ia sebenarnya seorang God Father. Gembong mafia. Tapi penonton bisa begitu bersimpati dan jatuh cinta kepadanya. Apalagi di penghujung hidupnya digambarkan Vito meninggal terkena serangan jantung saat bermain-main dengan cucunya.
godfather
Tidak lagi terpikir oleh penonton bahwa seorang tokoh mafia pasti menjalankan berbagai operasi kejahatan tingkat tinggi seperti penyelundupan, penyuapan juga pembunuhan. Tapi semua tertutup oleh karakter mellowdramatic Vito Corleone.
Hari ini, banyak rakyat Indonesia yang bingung, kecewa dan marah pada kepemimpinan rezim Jokowi. Ia yang digadang-gadang akan banyak berpihak pada rakyat, antikorupsi, tidak suka bagi-bagi jatah kekuasaan, justru mulai menjilat ludahnya sendiri. Subsidi BBM dan LPG 12 kg dikurangi, harga LPG 3 kg merangkak naik, jabatan menterinya dan sejumlah pejabat negara adalah orang partai pendukungnya, dan terakhirkeukeuh mencalonkan Budi Gunawan sebagai calon kapolri meski KPK sudah menetapkannya sebagai tersangka.
Kesahajaannya, sikap merakyatnya, dan penampilannya yang mellodramatic perlahan mulai pudar di mata sebagian pendukungnya berganti keraguan dan kebimbangan.
Tinggal kini publik harus membayar harga kekeliruan menilai kepribadian calon pemimpin. Mungkin sampai 5 tahun ke depan akan terus membayar kesalahan ini. Masih untung bila tak semakin memburuk.
Seharusnya ini menjadi pelajaran berharga untuk tidak menilai pribadi seseorang sebagian saja. Lihatlah pola pikir dan pola sikapnya secara utuh. Lebih pokok lagi, lihat apa asas kehidupannya; Islam atau sekuler. Selama bukan Islam yang dipilihnya, maka selama itu pula tak bisa dipegang kepribadiannya.
Banyak orang menampilkan kebaikan, kesahajaan, tapi bukan karena dorongan iman. Semata karena kebiasaan atau mungkin ingin mengambil keuntungan dari perbuatan baik yang ia kerjakan. Inilah yang diingatkan oleh Nabi saw. kepada kita semua:
أخوف ما أخاف عليكم جدال المنافق عليم اللسان
Yang aku paling takuti atas kalian adalah perkataan orang munafik yang alim perkataannya. (HR. Ibnu Hibban)
Resource:
http://www.iwanjanuar.com/memperdaya-bangsa-mellodramatic

Perkara Syar’i Tapi Mis-Context


Ada perkara-perkara mubah yang diizinkan oleh syariat Islam, tetapi hanya pasti barokahnya bila sistem Islam diterapkan di atasnya. Sedang bila dipaksakan pada context sistem “turbo-capitalisme” saat ini, tantangan dan resiko kegagalannya terlalu besar. Misalnya:

– menikah di usia dini
Karena pendidikan yang diberikan saat ini tidak menyiapkan orang sehingga sebelum baligh sudah tahu segala kewajiban syar’inya.  Walhasil setelah menikah terus didera banyak sekali masalah, tidak sedikit yang justru menjadi kontra produktif untuk dakwah.

– menikah sirri
Karena pemerintah hanya punya komitmen untuk melindungi pernikahan yang secara administratif tercatat resmi. Sebaliknya, banyak orang sengaja menikah sirri untuk menghindari konsekuensi hukum dari pernikahannya, misalnya pegawai korporasi tertentu dilarang menikah dengan sesama pegawai, padahal mereka kenalnya ya itu, jadi terpaksa menikah sirri, daripada salah satu dipecat!

– menikahi wanita ahli kitab
Karena tidak ada jaminan akan melengkapi “melihat Islam” yang sebelumnya hanya ditemukan di ruang publik menjadi juga di ruang privat.  Dalam negara Islam, seorang wanita ahli kitab melihat syariat Islam yang penuh berkah dilaksanakan di ruang publik.  Di sekolah dia melihat Islam.  Di tempat kerja dia melihat Islam.  Tetapi seperti apa Islam di dalam rumah tangga, sementara dia lahir dan dibesarkan bukan di keluarga muslim?  Untuk itulah, Islam memberikan kesempatan dia melihat Islam dipraktekkan di dalam keluarga, dengan menjadi istri seorang lelaki muslim yang shaleh. Kalau sekarang kebalikannya!  Di luar rumah yang ada hanya kapitalisme, sekulerisme, liberalisme.  Apakah seorang lelaki muslim justru akan menambah masalah dengan memasukkan wanita yang belum mengenal Islam ke dalam keluarganya?

– menikahi lebih dari 1 istri
Karena negara tidak akan pro-aktif campur tangan bila ada istri-istri yang ditelantarkan.  Negara ini hanya datang ketika “dipanggil” oleh istri yang menggugat cerai.  Padahal ada istri yang “tahu diri”, bahwa dia kalah cantik, kalah muda, kalah cerdas, tidak akan “laku” lagi bila cerai, sehingga akhirnya pasrah didholimi demikian.  Hanya negara Islam yang akan proaktif menjaga agar tidak ada satupun warganya yang terdholimi oleh warga lainnya, hatta itu suaminya sendiri.

– memiliki banyak anak
Karena bisa jadi justru akan menjadi mangsa pola konsumsi dan sistem pendidikan kapitalis.  Dalam negara Islam, setiap jiwa dijamin oleh negara.  Jadi banyak anak memang banyak rejeki, karena nantinya pendidikannya dijamin negara. Kalau sakit juga ada jaminan kesehatan dari negara.  Sekarang?  Banyak anak, berarti orang tua makin kewalahan mengurusnya.  Akhirnya anak diserahkan “dididik” oleh TV yang acaranya tidak islami.  Masuk sekolah kalau yang murah ya konten Islamnya minimal.  Jadilah banyak anak hanya memberikan lebih banyak korban untuk kapitalsme.

Jadi marilah, kita lebih proporsional dan kontekstual dalam mengatakan “syariat Islam”, termasuk ketika setengah menganjurkan untuk “menikah dini – daripada pacaran”, membela “menikah sirri – daripada berzina”, mensunnahkan “berpoligami – untuk membuat lebih banyak wanita bahagia”, mendorong “banyak anak – karena Nabi akan berbangga dengan jumlah ummatnya”, ataupun sebaliknya, menggugat kehalalan “menikahi ahli kitab”.  Semua ada konteksnya !

Konteksnya adalah: ADA NEGARA YANG BERKOMITMEN MENERAPKAN SISTEM ISLAM DI ATASNYA.
dan saat ini detik ini, negara tersebut tidak ada.

resource:
http://www.fahmiamhar.com/2012/01/perkara-syari-tapi-mis-context.html

Level tertinggi dan termulia dalam berfikir

Belajar Berpikir Level 7 (Beyond The Scientific Way)

Oleh Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar

Berpikir adalah sebuah aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah fakta melalui pancaindera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang telah disimpan sebelumnya di dalam otak.  Oleh karena itu, ada tiga hal mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2) informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya.

Kalau saja aktivitas berpikir boleh kita bikin levelingnya, maka level 0 (terrendah), berpikir IRRASIONAL.  Pada orang yang berpikir irrasional, satu atau lebih hal mendasar yang menentukan kualitas berpikirnya, mengalami masalah.  Mungkin informasi fakta yang diterimanya tidak akurat, atau informasi yang disimpan sebelumnya tidak lengkap, atau menghubungkannya terburu-buru.  Jadi, pada level 0 ini, boleh jadi informasi faktanya benar, atau informasi yang disimpan sebelumnya juga benar, tetapi kesimpulan yang dihasilkannya sebenarnya tidak nyambung.  Dulu, di penduduk asli Hawaii ada mitos bahwa “seseorang yang sehat, itu harus punya kutu rambut, karena orang yang sakit, ternyata ditinggalkan kutu rambutnya”.  Kedua fakta (sehat/sakit dan kutu rambut) itu benar.  Tetapi menghubungkannya salah, karena yang benar, ketika orang sakit, lalu dia demam, kutu rambut tidak tahan berada di kepalanya.  Tetapi, konklusi ini salah, karena ada informasi yang tidak lengkap, yaitu bahwa banyak orang sehat (di luar Hawaii) yang tidak punya kutu rambut.  Di luar contoh ini, banyak pola pikir irrasional yang bertengger di beberapa ajaran agama & kepercayaan, juga beberapa pada dunia politik, ekonomi, manajemen dsb.

Level di atasnya level (1), berpikir ILMIAH.  Berpikir ilmiah mencakup berpikir RASIONAL maupun EXPERIMENTAL.  Tergantung objeknya.  Ada objek yang cukup diolah secara rasional, misalnya mencakup matematika, astronomi, meteorologi, geologi, sejarah, ekonomi dsb, yang sebenarnya nyaris tidak bisa diuji secara pasti, tetapi konklusi pemikiran itu konsisten dengan fakta yang ditemukan serta bisa untuk prediksi.  Misalnya, secara rasional, jauh sebelum era manusia bisa melihat bumi dari ruang angkasa, mereka sudah bisa memastikan bahwa bumi ini bulat, berrotasi pada porosnya, dan mengelilingi matahari.  Tentu saja tidak semua hal bisa dipastikan secara rasional.  Karena itulah, berpikir ilmiah untuk objek-objek tertentu juga memerlukan metode experimental – dalam kondisi laboratorium – misalnya fisika, kimia, bioteknologi, material science, mesin, teknik sipil dsb.  Ketika sebuah objek baru bisa direkayasa (misalnya komputer) – padahal elektron itu tidak tampak secara langsung oleh pancaindera, maka teori tentang elektron itu menjadi sulit untuk dinafikan.

Level di atasnya level (2), berpikir INOVATIF.  Berpikir inovatif adalah berpikir bagaimana sesuatu bisa menjadi manfaat bagi orang banyak, baik itu manfaat ekonomi, manfaat kemanusiaan, manfaat keindahan ataupun yang lain.  Kadang sebuah teknologi tidaklah terlalu canggih secara ilmiah, tetapi sebuah inovasi mampu menjadikannya dipakai oleh ratusan juta manusia.  Contoh yang paling gampang adalah di dunia teknologi informasi.  Steve Jobs sebenarnya banyak menciptakan teknologi selain Apple, Macintosh, iphone, ipod dan ipad.  Tetapi banyak hal yang menyebabkan tidak semua penemuannya itu dikenal orang.  Demikian juga, Facebook bukan situs jejaring sosial pertama atau satu-satunya.  Google juga bukan mesin pencari pertama atau satu-satunya.  Tetapi kenapa Facebook dan Google menjadi sangat terkenal?  Karena inovatif!

Level selanjutnya level (3), berpikir INSPIRATIF.  Berpikir inspiratif adalah berpikir bagaimana bisa mencerahkan dan menggerakkan manusia atau masyarakat.  Mereka menjadi seolah-olah tergerak dari dalam, bukan karena diarahkan oleh orang lain atau oleh sistem.  Biasanya yang mampu berpikir inspiratif adalah mereka yang memiliki pengalaman hidup yang luar biasa, misalnya pernah membalikkan situasi yang sangat memprihatinkan menjadi kesuksesan.  Orang yang berpikir inspiratif mampu menggerakkan anak muda yang tidak semangat belajar, pengusaha bangkrut agar bangkit lagi, politisi yang sedang difitnah lawan politiknya, hingga pengemban dakwah yang sedang patah semangat (futur).

Berpikir ilmiah, inovatif dan inspiratif sudah bisa dilakukan pada scope sangat local.  Tetapi pada level selanjutnya kita bisa berpikir lebih luas.  Untuk itu kita masuk level (4), berpikir INTEGRATIF - cakupannya bisa se-INDONESIA.  Bak negarawan, kita memikirkan bagaimana mengurus  bangsa Indonesia ini agar bisa menjadi bangsa yang bermartabat, mandiri, maju dan memberi manfaat bagi bangsa-bangsa lain.  Untuk itu apa yang harus kita ubah?  kita perbaiki?  kita sempurnakan?  Untuk dapat berpikir Indonesia, kita mesti mengenal berbagai karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku, tinggal di ribuan pulau, dengan berbagai situasi, sejarah dan aneka ragam perundang-undangan yang membentuk adat-istiadat, habbit dan kultur yang berbeda-beda.  Keragaman itu adalah sebuah fakta, bagaimana kita harus menyerap yang positif dan menjadikannya kekuatan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa, adalah tantangan dalam berpikir level 4.

Mungkin berpikir pada scope Indonesia juga belum cukup, apalagi saat ini dunia saling terhubung, saling terkait.  Jadi kita bisa masuk level (5), berpikir INDEPENDEN - di kancah INTERNASIONAL.  Untuk dapat berpikir independen di kancah internasional maka kita harus memahami keragaman tingkat dunia, termasuk sejarah, budaya, konstelasi politik dan ekonomi internasional berikut intrik-intrik dan konspirasi yang mungkin ada.  Ini adalah berpikir yang tidak mudah, karena tidak semua informasi dapat divalidasi atau diketahui akurasinya.  Salah informasi dalam berpikir internasional dapat menjebak seseorang ke berpikir konspiratif, yang mensimplifikasi masalah apapun (dari bencana lokal sampai kekalahan dalam pilkada) sebagai hasil konspirasi global.  Konspirasi memang bisa dan biasa terjadi di kancah politik atau ekonomi, tetapi tidak semua hal dapat dipastikan.  Beberapa teori konspirasi malah bisa dipastikan keliru kalau itu melanggar hukum-hukum alam yang diketahui di dunia ilmiah.

Level selanjutnya adalah level (6)berpikir IDEOLOGIS.  Ketika seseorang berpikir internasional, mungkin dia melihat sebagian bangsa lebih maju dari yang lain dan bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa maju?  Di sinilah dia akan bersentuhan dengan sesuatu yang lain, bahwa kemajuan itu terkait dengan pandangan hidup (falsafah) yang mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan perilaku.  Berikutnya, falsafah itu juga akan berpengaruh pada sistem peraturan yang dibuat, pada undang-undang, dan pada struktur organisasi yang diterapkan atas bangsa tersebut.  Ini adalah sebuah ideologi.  Jadi berpikir ideologis sebenarnya sangat sulit.  Kita memikirkan banyak sekali hal sekaligus.  Di dunia ada beberapa ajaran yang dapat disebut ideologi, sub-ideologi, semi-ideologi atau pseudo-ideologi.  Tetapi secara umum, ajaran kapitalisme dan sosialisme dapat disebut ideologi.  Kapitalisme sebenarnya bertumpu pada pandangan sekulerisme, yang memisahkan agama dari perannya dalam kehidupan publik.  Selanjutnya pandangan ini memberikan kebebasan maximal dalam berbagai hal (liberalisme).  Tentu saja saja kebebasan ini dalam prakteknya harus dibatasi oleh hukum, cuma hukum seperti apa?  Karena asas sekulerisme, maka hukum tadi – minimal secara teori – wajib dibuat bersama-sama saja oleh berbagai kelompok (pluralisme), lahirlah demokrasi.  Dalam implementasinya, demokrasi ternyata sangat tergantung kepada pemilik modal, dan pada akhirnya, hasil dari demokrasi berupa undang-undang dan penguasa, semakin memperkuat posisi pemilik modal, inilah mengapa lebih disebut kapitalisme.

Dan level yang tertinggi (7) adalah berpikir ISLAMI.  Berpikir islami sebenarnya menempatkan Islam sebagai ideologi.  Karena syahadat seorang muslim adalah falsafah yang akan berpengaruh pada pandangan hidup, pola pikir, sikap, perilaku, membuat undang-undang, membuat struktur organisasi yang mengatur masyarakat, dsb.  Dan lebih dari itu, dia tidak cuma berpikir dunia di masa sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang.  Bahkan dia bisa melihat apa yang tidak terdeteksi oleh pancaindera, yaitu dunia akherat!  Dia tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga tentang rahmat bagi alam semesta.  Dia otomatis berpikir internasional, karena semua bangsa berhak untuk merasakan indahnya Islam.    Berpikir Islami juga pasti berpikir Indonesia, negeri kaya sumber daya tetapi juga kaya potensi bencana tempat tinggal muslim terbanyak di dunia.  Berpikir Islami juga pasti berpikirinspiratif, bagaimana menggerakkan orang yang sudah bersyariah menjadi siap berdakwah; yang baru beribadah agar kaffah bersyariah; bahkan yang belum bersyahadat agar mau meyakini bahwa sesungguhnya Tiada Sesembahan yang wajib disembah selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Nabi dan Utusan Allah.  Ini jauh lebih dari sekedar inspirasi karena pengalaman hidup, karena inspirasi dari Islam melampaui apa yang mungkin didapat seluruh manusia sepanjang pengalaman hidup mereka (beyond inspiration).  Berpikir Islami pasti mendorong orang untuk berpikir inovatif, karena Islam berlaku hingga akhir zaman, tetapi tanpa ijtihad yang menghasilkan berbagai inovasi, akan banyak persoalan manusia yang tidak mendapatkan solusi.  Tetapi ijtihad adalah lebih tinggi dari sekedar innovasi (beyond innovation), karena dia sedari awal sudah melibatkan Allah, baik dari motivasinya (ontologi), cara mencapainya (epistemologi), hingga ke aplikasinya (axiologi).    Dan jelas, berpikir Islami adalah berpikir ilmiah.  Karena dasar keimanan (syahadat) sudah seharusnya dicapai dengan cara berpikir yang rasional, dan selanjutnya seperti soal malaikat atau hari kiamat, diturunkan dari dasar keimanan secara rasional.  Islam tidak memberikan tempat untuk cara berpikir irrasional, sebagaimana mereka yang mencampuradukkan agamanya dengan bid’ah, khurafat dan tahayul.  Tetapi berpikir Islami lebih dari sekedar berpikir ilmiah (beyond scientific way), karena informasi ilahiyah yang diturunkan secara rasional memberikan petunjuk tentang berbagai hal yang memang bukan seluruhnya dapat ditemukan secara metode ilmiah, karena menyangkut tujuan hidup manusia, nilai-nilai yang mutlak harus dipertahankan, dan sistem pengaturan hidup manusia baik secara garis besar, maupun dalam beberapa hal cukup rinci.  Juga tentang beberapa kabar ghaib yang tentu di luar domain dunia ilmiah.
Berpikir Islami adalah berpikir beyond inspiration, beyond innovation, beyond scientific way !

Monday, 26 January 2015

Checkpoint 8 workbook End of unit Review Answer

Chapter 9 Simpliflying Expression and Solving Equation


download the pdf here

Chapter 13 Graphs



Thursday, 22 January 2015

IGCSE Algebra Worksheet Answer

Chapter 6  Worksheet Core - Equation and transforming formula

Download Here

Chapter 6 Worksheet Extended - Equation and transforming formula

Download Here

Chapter 10 Worksheet Core - Straight Line and Quadratic Equations

Download Here

Chapter 10 Worksheet Extend - Straight Line and Quadratic Equations

Download Here

Monday, 19 January 2015

We Will Not Abandon Our Prophet (Saw)



Taji Mustafa debate on Muslims and Free Speech on Channel 4 in 2007. Relevant again following controversy about Charlie Hebdo magazine publishing cartons of Prophet Muhammad (saw)

The scale and immediacy of the politicisation of the Charlie Hebdo incidents last week necessitates an exposition on the issue that would otherwise be undeserving.
People are killed everyday around the world in numbers and in circumstances that should put the events in France in perspective. The selective moral outrage displayed by some serves only to devalue the countless more lives lost every other day.
It seems some in Australia are arrogantly and irresponsibly heedless of the fact that provoking and insulting a people’s core beliefs is a matter that can only end in acrimony for everyone concerned. If that wasn’t enough, the biggest criminals of the world like Obama and Netanyahu are already seeking to exploit the events of last week for their predictable but nefarious purposes, despite the dust not settling and facts yet to be confirmed.
We Will Not Abandon Our Prophet (Saw)For these reasons, we would like to deliver clear messages to the politicians of Europe and to Muslims.
A Message to Europe's politicians
1. The scale and tenor of the political response to the Charlie Hebdo incident reinforces Europe’s desire to intensify its constant pressure on Muslims.  In a manner unprecedented in recent times, European powers have responded with an outpouring expressly encouraged by the political class, including the largest demonstrations in recent times sanctioned by officialdom, suggesting a callous and calculated exploitation of events witnessed last week.
2. These demonstrations cannot be analysed in isolation to the openly Islamophobic protests currently taking place in Europe. Their form may be different, but both rely upon the same underlying narrative that positions Muslims as the problem.
3. The attacks on the Prophet Muhammad (saw) have absolutely nothing to do with “freedom”. The appeal to freedom is a hollow slogan invoked each time the West seeks to deprive the Muslims of the very “rights” espoused under these slogans.  Have we forgotten the banning of the Islamic headscarf in France, its brutal and murderous military adventures overseas or its friendly relations with the world’s dictators, all justified through an appeal to liberal doctrine? These attacks have nothing to do with freedom, but everything to do with neo-colonialism – and specifically countering the Muslim desire to free themselves from the shackles of centuries of European colonialism.
4. The actions of Charlie Hebdo have been rightly criticised by many sane voices in Europe. Scores of people of faith and no faith, with the slightest concern for societal harmony, have expressed their disapproval of the deliberate insult and provocation of a people’s core beliefs, warning that such actions will generate responses that are undesirable to communal harmony.
5. European powers should realise that theirs are not the only people who regard certain beliefs as sacrosanct. Muslims, too, have red lines over which no compromise can be accepted. Ignoring this fact is ignorance at best and blind arrogance at worst.
A Message to Muslims
1. Muslims do not need to be lectured about the sanctity of human life. We especially do not need to be lectured by the greatest criminals of the modern age.
There are some that question the apparent hesitance to condemn attacks such as those carried out at Charlie Hebdo. But the fact is that this reluctance is a conscious or subconscious desire to resist a vile, racist and narcissistic worldview that highlights and humanises European life but dehumanises and makes invisible non-European life. Our refusal to succumb to the woeful moral ambivalence of the West should be a cause for celebration, not a cause for condemnation.
2. Over the last two centuries, European powers have established a violent dominance over Muslims that not long ago would have seemed impossible. They have further successfully imposed their culture throughout the Muslim world, encouraging Muslims away from their Islamic core and laying the foundations for future political, cultural, military and economic subservience. The magnitude of this domination is truly unprecedented, leaving Muslims politically incapable in the face of an aggressor driven by toxic hatred and a violent racism.
But these powers are still not satisfied, and aim for a yet more comprehensive dominance that would render Muslims permanently impotent. For this to occur requires that Islam’s key foundations be forever removed from the hearts of Muslims, ensuring that what remains is nothing more than a hollow imitation of its former, noble self.
3. The last element in this struggle is the Muslims’ belief in, and dedication to, Allah (swt) and the Prophet (saw). European and Western powers expect us to accept their freedoms as dearer than our Islam, giving Muslims only two options: accepting these freedoms as a base criteria for judgement, and thereby accepting their right to insult Allah (swt) and His Prophet (saw), or exposing ourselves to the wrath of the West’s political and military machines, at home or abroad. Just like the U.S. after 9/11, Europe is leaving no stone unturned in enforcing its secular agenda upon Muslims in the aftermath of recent events.
This perpetual and engrained motivation is aptly encapsulated in the eternal words of Allah (swt):
“And they will not cease fighting you until they turn you back from your Deen, if they can …” [Al-Baqarah 2:217]
4. The West’s unrelenting attacks on Islamic values are part of a long-standing struggle preceding the modern colonial era. The only difference today is that, unlike the past, Muslims find themselves exposed without political authority to defend their beliefs and interests. The establishment of a just Caliphate, with the true interests of all humanity at heart, is the only assured response to the unending crimes of European and Western powers harming both Muslim and non-Muslim alike.

Thursday, 15 January 2015

The Purpose of Knowledge is To Implement

We live in a time of knowledge. there is such an availability of knowledge.there are seminars, training, halqah.. majelis ta'lim.. schools, youtube videos, there is so much that is out there, and the average muslim now has access to so much knowledge. however there is one thing that is desperately missing from us. IMPLEMENTATION

The implementation of that knowledge.. tathbiiq.. putting the knowledge in to practice, we have become knowledge junkies, we are just desperate to gain more knowledge and learn more and more..
But we don't implement any of that knowledge, or we don't implement a lot of that knowledge

Often times we hear someone attend a lecture.. or attend a talk.. and they are said that lecture was great but...  most of the stuff i had heard before, i didn't really learn anything new.. Masya Allah..  how much of that did you actually implement? where is the implementation of that knowledge?

Even when it comes to the Quran.. 
Did u know that most of the companions Did Not have the Quran memorized
in our time we have this rush to just become a Hafiz. but where is the implementation of that Quran?

Umar RA, He says about himself, he says it took me 12 years to memorize surah alBaqarah, which now average hafidz within months they can memorize surah albaqarah, when Umar RA said it took me 12 years to memorize surah alBaqarah..WHY? He said because i would not pass by a single ayah, i would not memorize a single ayah, except i would implemented into my life...