This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday 30 October 2014

Pesan Imam Alghazali untuk para penuntut ilmu

Syaikhul ‘Alim al-’Allamah, Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusiy adalah nama lengkap Imam Al-Ghazali. Beliau adalah seorang ilmuwan ternama yang lahir di Thus, Khurasan (kira-kira 10 mil dari Naisabur, Persia) pada tahun 450 Hijriah. Di kalangan umat Islam ia lebih dikenal dengan nama Imam Ghazali, sedangkan di kalangan intelektual Barat dia lebih masyhur dengan nama Profesor Gazelle.
Imam Al-Ghazali pernah menjadi Guru Besar dan rektor pada Perguruan Tinggi Syafi’iyah “An-Nizamiyah” di Baghdad pada tahun 484 Hijriah. Dalam kitabnya“Bidayatul Hidayah”, Imam Al-Ghazali menyampaikan pesan yang sangat mendalam buat para pelajar yang menimba ilmu pengetahuan agar tidak terjeremus ke dalam ilmu yang sia-sia dan tak bermanfaat. Berikut petikan pesan beliau:
“Wahai para pelajar yang sedang berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan, yang sedang mengabdi dan menggandrungi ilmu, ketahuilah! Sesungguhnya kamu saat sekarang baru berada di tengah-tengah samudera yang luas, yang sedang kamu arungi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan memperdalamnya.”

“Ibarat orang berdagang, maka ‘akad jual-beli yang demikian adalah mendatangkan kerugian yang besar. Di samping dirimu sendiri rugi, orang yang telah mendidikmu akan merasa rugi pula, sebab mereka merasa telah memberikan pertolongan kearah maksiat, menuju jurang kehancuran.
Ibarat seorang penjual senjata, dia telah menjualnya kepada seorang penjahat di tengah jalan, senjata tersebut digunakan untuk menodong penjual itu sendiri. Demikian nasib gurumu apabila niatmu keliru di dalam menuntut ilmu pengetahuan.”
Apabila niat dan tujuanmu di dalam menuntut ilmu semata-mata mencari keridhaan Allah,maka berbahagialah. Karena sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya, demikian juga ikan-ikan di tengah samudera meminta keridhaan dan kasih sayang Allah buatmu, sehingga segala tindak langkah yang kamu tempuh selalu dalam naungan ridha dan ampunan-Nya.”
“Sebelum kamu belajar, hendaknya terlebih dahulu kamu bersihkan hatimu dari segala kemaksiatan dan kemalasan. Ketahuilah! Apabila hatimu masih berusaha untuk menunda-nunda kesempatan baik, maka sesungguhnya hatimu telah dipengaruhi oleh hawa nafsu, emosi, dan dorongan syetan yang terkutuk. Syetan yang telah mempermainkan hatimu agar selalu …
berada di jurang kesesatan dan kemaksiatan. Syetan yang telah membisikkan di telingamu agar tidak mengutamakan ilmu pengetahuan. Syetan yang telah memperdayamu dengan tipu daya dan irama-irama agar engkau berilmu tapi berada dalam kesesatan.”
"Ilmu itu cahaya" dan hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam kalbu.
Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah swt., para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi). Nabi juga bersabda: "Terdapat dua golongan dari umatku, apabila keduanya baik, maka manusia pun menjadi baik dan jika keduanya rusak maka rusaklah semuanya, yakni golongan penguasa dan ulama" (HR. Ibnu 'Abdil Barr dan Abu Naim dengan sanad yang lemah).
Mengingat kedudukan ilmu yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah,memahaminya adalah wujud takut kepada Allahmengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih.
Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.
Oleh karena itu, sebelum menetapkan hati untuk menuntut ilmu, Imam al-Ghazali menyarankan agar para pelajar membersihkan jiwa dan hatinya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah Subhanahuwata'alaa.
Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadats dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai prilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu.
Wahai anakku yang termasuk bagian dari nasihat apa yang disampaikan oleh rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam adalah "Tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah apabila disibukannya hamba tersebut dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Orang yang kehilangan masa usianya yang tidak digunkan untuk ibadah, maka pasti ia akan mengalami penyesalan yang berkepanjangan. Barangsiapa yang sudah berumur 40 tahun, di mana kebaikannya tidak bisa menutupi keburukannya, maka bersiap-siaplah ia masuk ke dalam neraka.”
Nasehat ini cukup bagi orang-orang yang beriman. Wahai anakku, nasehat itu mudah yang sulit adalah menerima dan menjalankan nasehat tersebut.
Bagi orang yang suka menuruti bahwa nafsunya, nasehat itu terasa sangat pahit karena hal-hal yang dilarang oleh agama sangat disukai dalam hatinya. Inilah beberapa nasehat Imam Al-Ghazali, camkan dan renungkanlah !. Semoga nasehat ini menmbah ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wata'alaa.
1.    Amalakan Ilmumu.
Ilmu adalah harta yang paling berharga diantara harta-harta yang ada di dunia ini. Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Seseorang yang memiliki ilmu kemudian ilmu itu ia amalkan maka akan membawa kebaikan dan keberkahan baginya baik di dunia maupun di akhirat.
Bagi yang menuntut ilmu tetapi tidak diamalkan ilmunya tapi digunakan untuk menunjukan kehebatan dan kekuatan dirinya serta untuk tujuan hal-hal yang berbau keduniaan, maka ilmunya itu hanya akan jadi sia-sia. Yakinlah sesungguhnya ilmu yang tidak diamalkan pasti tidak ada paedahnya.
Amlakanlah ilmu walupun sedikit yang kita miliki. Sampaikanlah ilmu itu walu satu ayat, karena ilmu adalah pelita yang dapat menjadi penerang bagi orang yang sedang berada dalam kegelapan.
2.       JANGANLAH Niat Menuntut Ilmu untuk Mencari Keduniaan.
Saat menjelang ujian tiba berapa banyak malam yang kita gunkan untuk mempelajari ilmu sampai kita tidak tidur. Kita begitu semangat untuk belajar. Menghapal rumus-rumus dan materi perkuliahan lainnya menjadi kebiasaan. Jika semangat dalam belajar itu untuk tujuan mencari materi atau menarik kebutuhan duniawi atau meraih kedudukan dalam hal pangkat keduniaan atau kebanggaan diri di hadapan manusia, maka kerusakan diri pasti akan kita rasakan.
Jika niat kita belajara semata-mata untuk menghidupkan syariat nabi Muhammad dan membersihkan akhlak serta mengalahkan nafsu amarah yang selalu mengajak pada perbuatan jahat, kita tentu akan merasakan kebahagiaan dan keuntungan. Jagalah niat kita dalam menuntut ilmu semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah dan menjemput kemuliaan yang telah di janjikannya.
3.       Ingatlah Akan Kubur.
Dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara. Kematian akan memisahkan kita dengan dunia yang sering membuat manusia terlena. Kemudian kita akan sampai pada sebuah tempat yang paling ditakuti banyak manusia, yaitu alam kubur. Jika dunia ini begitu lapang, selalu indah, mempesona dan enak dipandang mata, tidak demikian halnya dengan alam kubur. Alam Kubur sangat sempit, pengap, gelap dan penuh dengan binatang yang akan mengurai jasad tubuh kita.
Jika didunia seseorang beriman dan beramal shaleh, mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, maka ia akan merasakan kuburnya lapang dan terang. Tapi tidak demikian halnya bagi yang selama di dunia ingkar kepada Allah. Kuburnya sempit, gelap, dan binatang-binatang penghuni tanah akan segera mengurai jasadnya. Di alam kubur ini ia akan menerima sebagian siksa alloh akibat perbuatan buruknya selama di dunia.
4.       Bertahajudlah Setiap Malam.
Pada sebagaian malam bertahajudlah sebagai bentuk ibadah tambahan bagi kita. Seretlah kaki ini melangkah menuju tempat wudhu kemudian paksakan lutut kita berdiri kokoh walau kantuk begitu munguasai. Rasulullah bersabda,”Wahai pulan, janganlah engkau banyak tidur malam, sbab orang yang banyaka tidur malam itu bisa menjadikan pakir pada hari kiamat”.
Tatkala manusia berselimut mimpi pada malam yang begitu gulita, panjatkanlah do’a dan mohon ampun lah kepada Allah. Karena allah sangat menyukai hambanya yang mendirikan shalat, membaca Al-Qur’an dan berdo’a di sepertiga malam terakhir.
5.       Sesuaikan Perkataan dg. perbuatan.
Sesuaikan perkataan dengan perbuatan dan hati menjaga lisan. Allah sangat membenci hambanya yang mengatakan seusuatu tetapi tidak dilakukan dan tidak di amalakannya.
Sesungguhnya lisan yang tidak dikendalikan ucapannya dan hati yang tertutup oleh luapan syahwat merupakan tanda kerusakan. Olehkarena itu jagalah nafsu lisan dengan bertaqarrub kepada allah. Keluarkanlah perkataan yang baik-baik saja atau kalau tidak lebih baik diam.
6.       Berqarublah Kepada Allah.
Sesungguhnya alloh sangat dekat dengan kita, namun hal ini sering tidak kita sadari. Kita merasa jauh dari alloh,padahal jika kita melangkah kepada allah, alloh akan menghampiri kita. Kita akan merasa tentram dan tenang jika bertaqarub kepada alloh. Ada empat hal yang harus dilakukan oleh manusia yang menempuh jalan taqarub (kedekatan) kepada alloh yaitu:
-       Punya keyakinan yang benar kepada Allah dan jauh dari bid’ah.
-       Melakukan taubat nasuha dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi kemaksiatan.
-       Minta keridhaan orang yang pernah menjadi musuh kita.
-       Belajar ilmu agama supaya bias menjalankan perintah allah dengan benar.
7.    Carilah Guru dalam Bertaqarub Kepada Allah.
Apabila kita ingin memperbaiki akhlak, beribadah dan mencari kedekatan dengan Allah maka kita harus memiliki seorang guru yang dapat menunjukan dan juga dapat mengeluarkan kita dari belenggu kebodohan dan membawa kita kepada akhlak yang mulia agar tidak tersesat maka tidak sembarang orang mejadi guru. Adapun syarat menjadi guru yang pantas kita turuti antara lain:
a. Alim, Ciri-ciri orang yang alim ia berpaling dari kesenangan duniawi, ia tidak menyukai pangkat dan kedudukan. Ia juga mempunyai seorang guru alim yang sangat hati-hati terhadap barang subhat dan haram. Gurunya mempunyai gurunya lagi yang alim pula sehingga menyambung terus menerus.
b.   Berakhlak Mulia. yaitu guru yang mampu mengendalikan nafsunya, sedikit makannya, berbicara dan tidurnya. Ia memperbanyak ibadah wajib dan sunnah.
8.    Empat Perkara Harus Dilakukan.
Ada empatperkara yang seharunya dilakukan, yaitu:
-     Jadikan hubungan dg. Allah seperti seorang budak dengan tuannya.
-     Apabila kita berhubungan dengan manusia, tanamkan perasaan senang di hati kepada mereka seperti kita menyenangi diri kita sendiri.
-     Ketika mempelajari suatu ilmu, sebaiknya ilmu yang kita pelajari adalah ilmu yang bias membuat hati kita menjadi baik dan membersihkan diri dari kemaksiatan.
-     Jangan mengumpulkan harta dunia seolah-olah kita akan kekal di dunia ini. Tapi kumpulkan lah bekal akhirat dimana disanalah tempat kita abadi.
9.    Jangan Lupa Mendo’akan Orang Tua dan Guru.
Orang tua dan guru adalah orang yang paling berjasa dalam hidup kita merekalah orang-orang yang tidak pamrih mengharapkan kita berhasil dalam hidup ini. Tanpa mereka kita bukanlah apa-apa dan bukan pula siapa-siapa. Setiap kali berdo’a kepada alloh, sisipkanlah sepucuk pinta untuk mereka. Semoga Bermanfaat... 

Sosok Guru Ideal menurut Imam Ghazali

A.       Sosok Guru Profesional yang Ideal Menurut al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, guru dalam pengertian akademik ialah seseorang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau seseorang yang menyertai sesuatu institusi untuk menyampaikan ilmu pengatahuan kepada pelajarnya. Selain itu al-Ghazali mengartikan mendefinisikan guru sebagai seorang yang menyampaikan suatu baik, positif, kreatif atau membina kepada seseorang yang berkemauan tanpa umur walaupun terpaksa melalui pelbagai cara dan strategi dengan tanpa mengharapkan ganjaran (gaji). Al-Ghazali menjelaskan bahwasannya sosok guru professional yang ideal yaitu sebagai berikut :
1.      Guru professional yang ideal yaitu guru yang mempunyai akal cerdas, mempunyai akhlak yang sempurna, dan mempunyai fisik yang kuat. Guru harus mempunyai sifat ini karena dengan akal yang cerdas maka guru akan mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam. Dengan akhlak yang sempurna maka guru akan menjadi teladan yang baik terhadap peserta didiknya. Dan dengan mempunyai fisik yang kuat maka seorang guru akan dapat membimbing peserta didiknya dengan baik.
2.      Guru yang mempunyai tanggung jawab besar dalam mengajar, membimbing, dan mengarahkan peserta didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan membantu peserta didiknya menghadapi kehidupan di dunia dan akhirat.
3.      Guru yang dapat memahami perbedaan kejiwaan anak dan kemampuan intelektual anak. Guru harus memiliki kemampan ini karena peserta didik mempunyai perbedaan kemampuan intelektual setiap umurnya. Selain itu guru juga harus dapat memberikan materi kepada muridnya dengan cara sistematis. Jadi, murid harus memahami dahulu pelajaran sekarang baru melanjutkan pelajaran yang selanjutnya.
4.      Guru harus mempunyai rasa kasih sayang terhadap muridnya ketika proses belajar mengajar tidak boleh menggunakan cacian, makian, dan kekerasan lainnya, belas kasihan dan kasih sayang sangat dibutuhkan dalam mendidik guru pun harus menganggap seperti anaknya sendiri.
5.      Kewajiban menyampaikan ilmu pengetahuan merupakan kewajiban agama Islam, jadi guru pun harus mempunyai sifat ikhlas dalam menyampaikan ilmu pengetahuannya dan tidak boleh mengharapkan upah dari orang lain.
6.      Seorang guru professional ideal hendaknya guru yang bisa memahami perbedaan potensi pada setiap peserta didiknya, dan menerima kekurangan potensi peserta didik. Dengan memperlakukan sesuai dengan potensi peserta didiknya.
7.      Seorang guru yang baik menurut al-Ghazali yaitu guru yang tidak hanya memahami tingkat kecerdasan anak akan tetapi juga guru yang dapat memahami tabi‟at, bakat, dan juga kejiwaan muridnya. Guru harus bisa memperlakukan muridnya menurut kemampuannya.Al-Ghazali benar-benar memperhatikan professional guru dalam mendidik anak. Guru harus professional terhadap semua sisi pendidikan anak.

B.       Kriteria Guru menurut Al-Ghazali
Seorang guru adalah seorang pendidik.Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”. Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Menjelaskan kriteria guru yang baik dari kitab Ihyaa Ulumuddin yang merupakan karya monumental Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut
Pertama, Jika praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu.Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW.yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT.Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya.Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya.Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT,.Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan.Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya.Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya.Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya.Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa.Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.

C.       Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al – Ghazali
Dalam “Ihya Ulumuddin”, Al – Ghazali melukiskan betapa penting kepribadian bagi seorang pendidik : “Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala.Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.”

Statement Al – Ghazali tersebut dapat disimak bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian sesesorang pendidik adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena kepribadian seorang pendidik akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi Al – Ghazali sangat menganjurkan agar seorang pendidik mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan pada anak didiknya. Oleh Al – Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang – bayangannya. Bagaimanakah bayang – bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.

Kemudian Al – Ghazali mengemukakan syarat – syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut:
1.      Sabar menerima masalah – masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2.      Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3.        Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya atau pamer.
4.      Tidak takabbur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5.         Bersikap tawadu’ dalam pertemuan – pertemuan.
6.      Sikap dan pembicaraannya tidak main – main.
7.       Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid – muridnya.
8.      Menyantuni serta tidak membentak – bentak orang – orang bodoh.
9.      Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik – baiknya.
10.  Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak di mengerti.
11.  Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ kepada kebenaran.

Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang pendidik meliputi berbagai aspek, yaitu:
1.        Tabiat dan prilaku pendidik.
2.        Minat dan perhatian terhadap proses belajar – mengajar.
3.        Kecakapan dan keterampilan mengajar.
4.        Sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran
Di samping itu, Al – Ghazali menganjurkan kepada para pendidik agar meningkatkan dan membina kepribadiannya dengan cara mendidik dirinya sendiri:“Dan ia (pendidik) berhati – hati pula mendidik dirinya sendiri dengan membiasakan sedikit makan sedikit berkata – kata dan sedikit tidur serta membanyakkan sembahyang (shalat, berdoa), sedekah dan puasa. Lagi pula dalam kehidupannya mengikuti seorang ahli itu, dijadikannya segala akhlak yang utama, sebagai sabar, syukur, tawakkal, yakni tak keluh kesah (rela dengan apa yang ada), berhati tenang, berlapang dada, rendah hati, tahu diri, berlaku benar, menepati janji, menjadikan pakaian hidupnya.”

D.  Profesi pendidik (pengajar, guru) menurut Al-Ghazali
1.    Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah. Dalam kitab “Ihya ‘Ulumuddin” ia mengatakan : “apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu. Jadi, mengajar dan mendidikadalah sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang lain. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan. Jika seorang pendidik dan anak didiknya mampu saling menghormati dan saling menghargai diantara mereka maka maka ilmu yang diberikan pendidik akan mudah merasuk kedalam otak anak didiknya. Dan nantinya anak didik akan menjadi manusia yang terhormat dan sekaligus dihormati. Disinilah letak kemuliaan seorang pengajar yang diungkapkan oleh al-Ghazali.

2.      Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum.
 Al-Ghazali dalam “Mizanul ‘Amal” mengatakan :
a.    mencari faedah dan guna ilmu,
b.    mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya-tanya,
c.      memberikan wawasan ilmu dan pengajarannya, dan inilah keadaan yang termulia baginya.
Dengan demikian pendapat al-Ghazali , sesuai dengan pandangan para sarjana pendidikan di Indonesia, antara lain Dr. Sutari Imam Barnadib mengatakan : “Mendidik adalah suatu tugas yang luhur. Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pendidik harus mempunyai kesenangan bekerja sama dengan orang lain atau untuk dengan kata lain harus mempunyai sifat-sifat social yang besar. Drs. Ali Saifuddin H.A mengatakan : “Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdian, yaitu memberikan pelayanan pada masyarakat dan kemanusiaan.

3.      Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan.
Al-Ghazali menyebutkan :
“Seorang guru adalah berurusan langsung denga hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia dimuka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar)tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan adalah guru bekerja menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”
Jadi kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di dartan bumi, ia meniddik jiwa, hati, akal dan roh manusia. Sedangkan jiwa manusia adalah unsure yang paling mulia pada bagian tubuh manusia dan manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk lainnya. Analisis yang deduktif dan induktif yang dikemkakan al-Ghazali tersebut adalah sangat benar dan tepat sekali, karena ia juga mendalami filsafat dan menguasai logika secara cermat dan akurat.

E.     Teknik mengajar dan adab sopan santun seorang guru menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah salah satu orang sangat menyetujui tentang pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak mengabaikan aspek amaliah meskipun belau tidak terlalu memusatkan perhatiannya pada aspek ini. Ia mengkehendaki agar pendidikan dilandasi dengan agama dan akhlak. Itulah sebabnya beliau memandang bahwa tekhnik mengajar merupakan pekerjaan yang paling utama yang harus diikuti setiap orang. Pandangan demikian didasarkan atas dalil naqli dan ‘aqli.

F.      Sifat-sifat yang harus dmiliki seorang guru menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menguraikan sejumlah sifat-sifat guru yang mencerminkan tugas yang harus dilaksanakan oleh mereka yaitu mendidik akal dan pikiran, jiwa dan roh, yaitu :
1.      Hendaknya guru mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri, dengan ucapan : “Orang tua adalah menjadi sebab wujudnya kehadiran anaknya dan kehidupan itu adalah bersifat fana, dan guru menjadi sebab kehidupan yang abadi”. Pengarahan kasih sayang kepada murid mengandung makna dan tujuan perbaikan hubungan pergaulan dengan anak-anak didiknya, dan mendorong mereka untuk mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa berlaku kasar terhadap mereka.Dengan dasar ini maka hubungan pergaulan antara guru dan murid menjadi baik dan intim yang didasari atas rasa kasih sayang dan cinta serta kehalusan budi.
2.      Guru jangan mencari bayaran dari pekerjaan mengajarkan demi mengikuti jejak Rasulullah s.a.w dengan alasan bahwa pekerjaan mengajar itu lebih tinggi harganya dari pada harta benda, cukuplah kiranya guru mendapatkan kebaikan (fathilah) dan pengakuan tentang kemampuannya menunjukkan orang kepada jalan kebenaran dan hak, kebaikan dan ilmu pengetahuan, dan yang lebih utama lagi ialah guru dengan menunjukkan jalan yang hak kepada orang lain. Sebenarnya al-Ghazali meyakini prinsip kewajiban mengajar untuk orang yang berilmu pengetahuan yang mampu, semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga pahalanya besar sekali.
3.       Guru hendaknya menasehati muridnya agar jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau mencari penghidupan, akan tetapi menuntut ilmu demi untuk ilmu dan hal ini merupakan dorongan ideal yang perlu diikuti. Sebenarnya al-Ghazali mengarahkan ilmu ketingkat yang tinggi untuk dipelajari karena ilmu dapat mengembangkan ilmu lainnya dan dapat diperdalam pembahasannya.
4.       Guru wajib memberi nasihat murud-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat tersebut (menurut beliau) ialah ilmu yang dapat membawa kepada kebahagiaan hidup akhirat, yaitu ilmu agama.
5.       Seorang guru idola (taladan) yang baik dan contoh yang utama yang harus ditiru oleh anak-anak (mereka menyerap kebiasaan yang baik yang dikembangkan oleh seorang guru idola). Mereka senang mencontoh sifat-sifat dan meniru segala tindak-tanduk guru yang diidolakan.Oleh sebab itu seorang guru wajib berjiwa lembut yang penuh dengan tasammuh (lapang dada) penuh keutamaan, dan terpuji. Sebaiknya guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak ia ajarkan, misalnya mengajar ilmu fiqih dengan mengacaukan dengan pengajaran lughah (bahasa), atau sebaliknya mengajarkan lughah dicampur-baurkan dengan fiqih. Jika hal itu dikerjakan , maka ia berbuat tercela, tidak sesuai dengan tugasnya yang terhormat.
6.      Memperhatikan bakat-kemampuan murid tingkat perkembangan akal dan pertumbuhan jasmaniahnya. Al-Ghazali menganjurkan agar supaya guru memperhatikan tahap-tahap peningkatan kemampuan anak dalam mempelajari ilmu dari satu jenjang ke jenjang lain yang lebih tinggi.
7.       Harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak (murid). Pandangan al-Ghazali, agar guru memahami tentang prinsip-prinsip tentang perbedaan individual di kalangan anak didik serta tahapan perkembangan akal pikirannya, sehingga dengan pemahaman itu, guru dapat mengerjakan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka, serta senantiasa sejalan dengan tingkat kemampuan berpikir tiap anak didiknya.Dengan mengenal perbedaan-perbedaan individual maka guru dapat membantu memperbaiki pandangan pendidikan dan pengajaran keterampilan.
8.      Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya. Al-Ghazali menegaskan kepada kita bahwa berpegang pada prinsip-prinsip dan berusaha merealisasikan prinsip tersebut merupakan watak seorang guru yang diidolakan (teladan), karena ucapan-ucapan yang sesuai dengan prilakunya. Jika ia berpaling dari prinsip, dan tidak sesuai antara ucapan dengan perbuatan maka menjadi sasaran penghinaan atau menjadi sumber kerendahan, yang menyebabkan ia tidak mampu memimpin mereka dan menjadi lemahnya daya bimbingan dan pandangannya. Al-Ghazali menghendaki agar guru menjadi contoh teladan yang baik bagi murid-muridnya. Jika kita amati kenyataan masa kini bahwa sistem pendidikan tidak akan mengalami kerusakan disekolah-sekolah kita, kecuali jika para guru tidak melakukan apa yang mereka katakan, sehingga murid-muridnya tidak mendapatkan seseorang guru pun di antara mereka tokoh teladan dan ikutan baik yang diteladani sebagai idola mereka.

G.    Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya : “Ihya “Ulumuddin” dan “Mizan Al Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut : 
1.      Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
“ Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya ‘alim (berilmu, intelektualen). Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW,itu”. Kemudian Al-Ghazali berpendapat : “ seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya”.Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata.
2.       Memberikan kasih sayang terhadap anak didik.
Al-Ghazali mengatakan : “Memberikan kasih sayang kepada murid-murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri”. Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran.
3.      Menjadi teladan terhadap anak didik .
Al-Ghazali mengatakan : “seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati.Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala.Padahal yang mempunyai mata kepal adalah lebih banyak”. Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern indonesia.
4.      Menghormati kode etik guru
Al-Ghazali mengatakan : “ seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek-jelekan mata pelajaran lainnyadihadapan muridnya”. Gagasan al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan pada dunia pendidikan (indonesia) dewasa ini yaitu penyelenggaraan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di perguruan tinggi khususnya., yang diberikan pada setiap mahasiswa dari jurusan dan program pendidikan apapun yang arahnya adalah adanya saling mengargai dan menghormati antar disiplin ilmu profesi.  Pandangan al-Ghazali tersebut dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang luas, misalnya hubungan guru dengan soal-soal kenegaraan, dan hubungan guru dengan jabatan.

H.    Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Qabisi bahwa seorang guru boleh menerima gaji (upah). Sedangkan menurut al-Ghazali : “ Al-Quran diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah”.Sesungguhnya, kesimpulan Al Ghazali dalam hal mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat, yaitu gaji yang tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam al ghazali itu adalah apabila Al Qur’an (ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.Dalam sebuah hadist Rasul saw bersabda : “ yang paling pantas kamu terima gaji karena ada kitab Allah (Al Qur’an). Tetapi rasul saw pada kesempatan lain juga bersabda : “ Bacalah Al Qur’an, jangan kamu cari makan dengan itu, jangan kamu mendegar-dengarnya”.

Tuesday 28 October 2014

Beginilah seharusnya kita memperlakukan waktu



Sungguh saya telah berjumpa dengan beberapa kaum, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu mereka daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham” (Al-Hasan Basri)
Saudaraku, Waktu adalah salah satu diantara nikmat Allah yang paling berharga dan agung bagi manusia. Cukup bagi kita kesaksian Al-Qur’an tentang betapa agungnya tentang nikmat yang satu ini. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan tentang urgensi waktu, ketinggian tingkatannya, dan juga pengaruhnya yang besar. Bahkan Allah telah bersumpah dengan waktu dalam kitab-Nya yang mulia dan ayat-ayat-Nya yang luhur dalam konteks yang berbeda-beda. Allah yang urusan-Nya yang begitu agung telah bersumpah dengan waktu malam, siang, fajar, subuh, saat terbenamnya matahari, waktu dhuha, dan dengan masa.
Hanya orang-orang hebat dan mendapatkan taufik dari Allah, yang mampu mengetahui urgensi waktu lalu memanfaatkanya seoptimal mungkin. Dalam hadits, “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang (HR. Bukhari). Banyak manusia tertipu didalam keduanya, itu artinya, orang yang mampu memanfaatkan hanya sedikit. Kebanyakan manusia justru lalai dan tertipu dalam memanfaatkannya.
Saudaraku, Allah memberikan kita setiap hari “modal” waktu kepada semua manusia di muka bumi ini adalah sama, yaitu 24 jam sehari, 168 jam seminggu, 672 jam sebulan, dan seterusnya. Namun kenapa prestasi bisa berbeda? Dalam waktu yang sama, Mereka mampu berbuat dan berkarya seperti berikut:
  1. Rasulullah SAW : Dalam waktu 23 tahun bisa membangun peradaban Islam yang tetap ada sampai sekarang. Ikut 80 peperangan dalam tempo waktu kurang dari 10 tahun, santun terhadap fakir miskin, menyayangi istri dan kerabat, dan yang luar biasa adalah beliau seorang pemimpin umat yang bisa membagi waktu untuk umat dan keluarga secara seimbang!
  2. Zaid bin Tsabit RA : Sanggup menguasai bahasa Parsi hanya dalam tempo waktu 2 bulan! Beliau dipercaya sebagai sekretaris Rasul dan penghimpun ayat Quran dalam sebuah mush’af
  3. Abu Hurairah : Masuk Islam usia 60 tahun. Namun ketika meninggal di tahun 57 H, beliau meriwayatkan 5374 Hadits! (Subhanallah!)
  4. Anas bin Malik : Pelayan Rasulullah SAW sejak usia 10 tahun, dan bersama rasul 20 tahun. Meriwayatkan 2286 Hadits.
  5. Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H) : Sepanjang hidupnya menulis kitab-kitab penting sebanyak tiga lemari.
  6. Abu Bakar Al-Anbari : Setiap pekan membaca sebanyak sepuluh ribu lembar.
  7. Syekh Ali At-Thantawi : Membaca 100-200 halaman setiap hari. Kalkulasinya, berarti dengan umurnya yang 70 tahun, beliau sudah membaca 5.040.000 halaman buku. Artikel yang telah dimuat di media massa sebanyak tiga belas ribu halaman. Dan yang hilang lebih dari itu.
  8. Ibnu Jarir Ath-Thabari, beliau menulis tafsir Al-Qur’an sebanyak 3.000 lembar, menulis kitab Sejarah 3.000 lembar.Setiap harinya beliau menulis sebanyak 40 lembar selama 40 tahun.Total karya Ibnu Jarir 358.000 lembar.
  9. Ibnu Aqil menulis kitab yang paling spektakuler yaitu Kitab Al-Funun, kitab yang memuat beragam ilmu, adz-Dzahabi mengomentari tentang kitab ini, bahwa di dunia ini tidak ada karya tulis yang diciptakan setara dengannya. Menurut Ibnu Rajab, sebagian orang mengatakan bahwa jilidnya mencapai 800 jilid.
  10. Al-Baqqilini tidak tidur hingga beliau menulis 35 lembar tulisan.
  11. Ibnu Al Jauzi senantiasa menulis dalam seharinya setara 4 buah buku tulis. Dengan waktu yang dimilikinya, beliau mampu menghasilkan 2.000 jilid buku. Bekas rautan penanya Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan mayat beliau, bahkan masih ada sisanya.
  12. Iman An-Nawawi setiap harinya berlajar 12 mata pelajaran, dan memberikan komentar dan catatan tentang pelajarannya tersebut. Umur beliau singkat, wafat pada umur 45 tahun, namun karya beliu sangat banyak dan masih dijadikan sumber rujukan oleh umat muslim saat sekarang ini.
Masih banyak lagi contoh-contoh luar biasa lainnya. Kenapa tidak banyak orang yang bisa menyamai mereka? Padahal waktu yang diberikan Allah kepada mereka sama dengan waktu yang diberikan Allah pada hambaNya yang lain? Jawabannya adalah kecerdasan manajemen waktu.
Saudaraku, bercermin kepada genarasi salafus shalih umat ini, dimana mereka telah menorehkan contoh-contoh yang mengagumkan dalam memanfaatkan waktu, detik-detik umur dan setiap hembusan nafas untuk amal kebajikan. Dengan mengetahui jalan hidup orang-orang saleh dan kesungguhan mereka mereka dalam memanfaatkan detik-detik umur mereka dalam ketaatan, memiliki pengaruh besar dihati seorang muslim, yaitu pengaruh dalam menumbuhkan dan membangun gairah untuk memanfaatkan waktu dan memaksimalkan deti-detik usia dalam perkara-perkara yang mendekatkannya kepada Allah. Mari kita telusuri kisah indah dan uniknya mereka dalam memaksiamalkan waktu:
Para genarasi salafus shaleh umat ini sangat bersemangat untuk menjaga waktu hingga dalam keaadaan sakit dan sakratul maut
Al Biruni, (362H—440H), seorang ahli ilmu falak dan ilmu eksakta, ahli sejarah, dan menguasai lima bahasa yaitu bahasa Arab, Suryani, Sanskerta, Persia dan India. Saat detik-detik terakhir hidup beliau, tetap mempelajari masalah faraidh (waris). Lalu seorang berkata kepada beliau, layakkah engkau bertanya dalam kondisi seperti ini? Beliau menjawab, kalau aku meninggalkan dunia ini dalam kondisi mengetahui ilmu dalam persoaalan ini, bukankah itu lebih baik dari pada aku hanya sekedar dapat membayangkannya saja, tidak tahu ilmu tentangnya. Tidak lama setelah itu beliau wafat.
Ibrahim bin Jarrah berkata, “Imam Abu Yusuf Al Qadli rahimahullah sakit. Saya Menjeguknya. Dia dalam keadaan yang tidak sadarkan diri. Ketika tersadar, dia berkata kepadaku, ‘hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?’ Saya menjawab, ‘Dalam kondisi ini seperti ini?’ Dia menjawab, ‘Tidak apa-apa, kita terus belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karenanya.’ Lalu aku pulang. Ketika aku baru sampai di pintu rumah, aku mendengar tangisan. Ternyata ia telah wafat.”
Syaikh Ibnu Taimiyah selalu menelaah dan memetapi pelajarannya saat beliau sakit atau berpergian. Ibnu Qayyim berkata, Syaikh kami Ibnu Taimiyah pernah menuturkan kepadaku, “Ketika suatu saat aku terserang sakit, maka dokter mengatakan kepadaku,‘Sesungguhnya kesibukan anda menelaah dan memperbincangkan ilmu justru akan menambah parah penyakitmu’. Maka saya katakan kepadanya, ‘Saya tidak mampu bersabar dalam hal itu. Saya ingin menyangkal teori yang engkau miliki. Bukankah jiwa merasa senang dan gembira, maka tabiatnya semakin kuat dan bias mencegah datanya sakit?’ Dokter itu pun menjawab, ‘Benar.’ Lantas saya katakan, ‘Sungguh jiwaku merasa bahagia dengan ilmu, dan tabiatku semakin kuat dengannya. Maka, saya pun mendapatkan ketenangan.’ Lalu dokter itu menmpali, ‘Hal ini diluar model pengobatan kami.’
Mempersingkat waktu makan, serta mengurangi makan agar tidak selalu sering ke WC
Kesungguhan genarasi salafus shalih umat ini dalam memanfaatkan waktu sampai pada tingkat bahwa mereka merasa sayang dengan waktu yang dipakai untuk makan, maka mereka mempersingkat sebisa mungkin.
Dawud At-Tha’i rahimahullah memakan alfatit (roti yang dibasahi dengan air). Dia tidak memakan roti kering (tanpa dibasahi). Pembantunya bertanya, “Apakah anda tidak berhasrat makan roti?” Dawud menjawab, “Saya mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca 50 ayat antara memakan roti kering dan basah.” (Sifatus Shafwah, 3/92)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menceritakan kepada kita, Ibnu Aqil berkata, “Aku menyingkat semaksimal waktu-waktu makan, sehingga aku lebih memilih memakan kue kering yang dicelup ke dalam air (dimakan sambil dibasahi) dari pada memakan roti kering, karena selisih waktu mengunyahnya (waktu dalam mencelup kue dengan air lebih pendek daripada waktu memakan roti keringi) bisa aku gunakan untuk membaca dan menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” (Dia melakukan hal itu supaya bisa memanfaatkan waktu lebih). (Dzailut Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab,1/177)
Asy-Syamsul Ashbahani, (674H—749 H), seorang tokoh mahzab Syafii, pakar fiqih dan tafsir. Apa yang diceritakan tentang beliau menunjukkan antusiasnya terhadap ilmu dan ‘pelitnya’ beliau untuk menyia-nyiakan waktu. Sebagian sahabatnya pernah menuturkan bahwa beliau sangat mengindari makan yang banyak, yang tentunya akan butuh banyak minum, dan selanjutnya butuh waktu masuk WC. Sehingga waktu pun banyak terbuang. Lihatlah! bagaimana mahalnya waktu dalam pandangan imam yang mulia ini. Dan tidaklah waktu itu mahal bagi beliau melainkan karena betapa sangat mahalnya ilmu tersebut.
Memanfaatkan waktu perjalanan dengan membaca buku, berzikir, menuntut ilmu, bahkan menyampaikan hadist
Said bin Jabir berkata, “Saya pernah bersama Ibnu Abbas berjalan disalah satu jalan di Mekah malam hari. Dia mengajari saya beberapa hadis dan saya menulisnya diatas kendaraan dan paginya saya menulisnya kembali diatas kertas.” (Sunan Ad-Darimi, Imam Ad-Darimi, 1/105)
Tentang Al-Fath bin Khaqan, beliau membawa kitab dalam kantong bajunya. Apabila beliau bangun dari tempat duduknya untuk shalat atau buang air kecil atau untuk keperluan lainnya, beliau membaca kitabnya hingga sampai ke tempat ingin dia tuju. Beliau juga melakukan hal tersebut ketika kembali dari keperluanya. (Taqyiidul ‘Ilm, Al Khatib Al-Baghdadi)
Imam An-Nawawi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya, baik di waktu siang atau pun malam, kecuali menyibukkan dirinya dengan ilmu. Hingga ketika beliau berjalan di jalanan, beliau mengulang-ngulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang telah ditelaahnya sambil berjalan. Beliau melakukan itu selama enam tahun. (Tadzkiratul Huffaz, Adz-Dzahabi, 4/1472)
Ibnu Khayyath An-Nahwi, wafat tahun 320 H. Konon, beliau belajar di sepanjang waktu, hingga saat beliau sedang berada di jalanan. Sehingga terkadang, beliau terjatuh ke seleokan, atau tertabrak binatang. (Al-Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilm wal ijtihad fi jam’ihi, Abu Hilal Askari, hal. 77)
Memanfaatkan waktu-waktu makan, saat istirahat, bahkan saat di Kamar kecil (WC) sekalipun untuk membaca atau mendengar ilmu
Ahmad bi Ali berkata kepada Abdur Rahman bin Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah, “Apa penyebabnya Anda banyak mendengar hadis dari bapakmu? Dan Anda banyak bertanya kepadanya?” Dia menjawab, mungkin karena ketika dia makan, saya belajar hadis kepadanya. Ketika berjalan, saya belajar kepadanya. Ketika dia buang hajat, saya belajar kepadanya dan ketika dia masuk rumah untuk mencari sesuatu, saya belajar kepadanya.” (Siyar A’lamin Nubala, Imam Adz-Dzahabi,13/50)
Simaklah cerita Ibnu Aqil Hambli rahimahullah tentang bagaimana ia menjaga waktunya, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisanku telah lelah membaca dan berdiskusi, mataku telah lelah membaca, maka aku menggunakan pikiran aku dalam keadaan beristirahat (berbaring di tempat tidur). Aku tidak akan berdiri, kecuali telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis. Dan aku mendapi kesungguhanku belajar ikmu dalam usia 80 tahun lebih kuat daripada apa yang kudapai ketika aku berumur 20 tahun.” (Al-Muntadzim fi Tarikhil Umam, Ibnu Jauzi, juz 9)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Telah memberitahukan kepadaku saudara Syaikh kami, Abdur Rahman bin Abdul halim Bin Taimiyah dari ayahnya berkata, “Adalah kakek (yaitu Majdudin Bin Taimiyah) apabila ia masuk WC, dia berkata kepadaku, “Bacalah buku ini untukku, keraskanlah suaramu sehingga aku mendengarkannya.” Maka Ibnu Rajab mengomentari, “Hal ini menunjukkan akan kuatnya antusias beliau terhadap ilmu, sekaligus semangatnya untuk menggapainya, dan juga penjagaan beliau terhadap waktunya.” (Dzailuth Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab, 2/24)
Ibnu Nafis seorang ulama dan dokter terkemuka yang unggul, ia senantiasa menjaga setiap waktunya dan kesempatannya guna menorehkan ide dan pemikirannya, justru disaat-saat yang paling unik dan asing bagi yang lainnya. Beliau adalah pemuka dan orang yang terkemuka dalam ilmu kedokteran, dan memiliki banyak karya dalam bidang kedokteran. Diceritakan bahwa beliau mencatat sejumlah persoalan kedokteran disela-sela mandinya yaitu mengenai denyut nadi. Beliau lahir di Damaskus tahun 610H, dan wafat di Kairo pada tahun 687H. (Raudharul Jannat, Al-Khawanisari)
Melakukan dua aktivitas yang berbarengan sekaligus, untuk mengoptimalkan waktu-waktu yang tersedia
Sungguh Ulama salaf sangat berhati-hati sekali menjaga waktunya, mereka tidak akan membiarkan waktunya terbuang percuma dan berlalau sia-sia. Mereka cerdas dalam melakukan optimalisasi waktu. Meraka mampu merangkum dua kegiatan sekaligus dalam waktu yang berbarengan. Seperti yang telah disebutkan di atas, mereka berlajar sambil jalan, mendengarkan ilmu ketika di WC, memecahkan persoalan yang rumit disela-sela mandinya, membaca buku saat makan, berlajar disela-sela kesibukan dagang, memikirkan ide dan gagasan ilmu disaat berbaring di atas kasur, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang mengagumkan tentang potret ulama salah dalam optimaliasisi waktu. Bahkan tetap memanfaatkan waktu, ketika memenuhi kewajiban mengadiri undangan, menerima tamu.
Ibnu Jauzi tetap bekerja tanpa meninggalkan berbicara saat dikunjungi tamu. Beliau menuturkan sendiri tentang bagaimana beliau memanfaatkan waktunya, “Saat saya menyadari bahwa waktu adalah sesuatu yang paling berharga, maka sudah menjadi kewajiban memanfatkan waktu tersebut untuk berbuat kebajikan. Maka saya tidak menyukai kebiasaan tersebut (maksudnya kebiasaan bertamu yang tidak membawa manfaat yang banyak terjadi didalamnya obrolan tak tentu arah, duduk berlama-lama), dan tidak suka berlama-lama dengan mereka, karena dua hal. Kalau saya menyalahkan mereka, maka akan terjadi kekurangakraban karena tindakan itu berarti memutus pertalian hati. Kalau saya mengikuti mereka, maka waktu terbuang sia-sia. Akhirnya saya berusaha mengindari pertemuan sebisa mungkin. Kalau saya kalah, maka saya cukup berbicara sedikit saja agar cepat berpisah. Kemudian saya sengaja menyiapkan berbagai pekerjaan sambil terus berbicara pada saat berjumpa dengan mereka, agar waktu tak terbuang sia-sia. Untuk menyiapkan pertemuan dengan mereka, saya sengaja memotong-motong kertas, meraut pensil, mengikat buku-buku. Karena semua itu adalah aktivitas yang memang harus dilakukan, tanpa harus berpikir dan berkosentrasi. Maka, semua pekerjaan itu saya siapkan untuk saat pertemuan dengan mereka, agar waktu saya tidak terbuang secara sia-sia.” (Saidul Khatir, Ibnu Jauzi)
Imam Sulaim Ar-Razi, ia wafat pada tahun 447 H. Beliau amat militan dalam menjaga sifat waranya. Beliau selalu melakukan introspeksi dalam soal waktu. Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa manfaat, dengan terus menulis, mengajar, membaca tau menyalin ilmu dalam jumlah banyak. Abu faraj menuturkan, “Al-mualli bin hasan pernah menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Sulaim Ar-Razi sedang memegang pena yang matanya sudah habis. Ia memotong kayu diujung penanya, sambil bibirnya bergerak-gerak. Al-Mu’amil akhirnya tahu, bahwa ia membaca sesuatu sambil memperbaiki penanya, sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia”. Yakni, saat kedua tangannya bekerja, beliau menggerak-gerakkan bibirnya untuk berzikir, agar tidak ada waktu berlalu sia-sia, tanpa melakukan ibadah kepada Allah. (Thabaqat Asy-Syafi’iyah Al-Wustha, Tajuddin As-Subki)
Ada ulama yang mensayatkan kepada orang yang mengundangnya ke acara walimahan agar disediakan baginya tempat yang agak lapang, guna meletakkan bukunya, yang akan beliau baca disela-sela mengadiri pesta tersebut. Kalau tidak ada, maka beliau lebih memilih tidak mengadiri acara tersebut.
Mengurangi tidur, dan mengisi malamnya dengan menuntut ilmu dan ibadah
Sebagian besar manusia waktu malamnya dimanfaatkan untuk tidur, jika pun tidak digunakan untuk tidur, mereka menggunakannya bergadang untuk hal-hal yang sepele, yang tidak membawa manfaat uyntuk dunia dan akhiratnya. Namun tidak bagi generasi salafus shaleh umat ini mereka menyadari kemulian zaman, mereka tahu akan hakekat waktu, waktu cepat berlalu, kalau berlalu tidak akan bisa kembali lagi. Mereka menyadari bahwa umur itu singkat, waktu boleh sama tapi prestasi harus beda. Tidak ada jalan lain bagi mereka selain mengurangi tidur mereka.
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tidak tidur malam kecuali sangat sedekit sekali. Beliau adalah seorang imam ahli fikih, ahli ijtihad dan ahli hadis. Beliau lahir tahun 132H, dan wafat 189H. Konon beliau sering tidak tidur malam. Beliau biasanya meletakkan beberapa jenis buku disisinya. Bila bosan membaca satu buku, beliau akan menelaah yang lain. Beliau menghilangkan rasa kantuk dengan air, sembari berujar, “Sesungguhnya tidur berasal dari panas”. (Miftahus Sa’adah wa Misbahus Siyadah, I:23)
Gurunya Imam An-Nawawi berkata tentang Al-Hafizh Al-Mundziri, “Saya belum pernah melihat dan mendengar seorang pun yang paling bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu selain dirinya. Ia senantiasa sibuk di waktu malam dan siang hari. Saya pernah berdampingan dengannya di sebuah madrasah di Kairo. Selama 12 tahun, rumahku berada di atas rumahnya. Selama itu pula saya belum pernah bangun malam pada setiap jammya, melainkan cahaya lampu senantiasa menyala di rumahnya, sedangkan ia hanyut dalam ilmu. Bahkan ketika makan pun ia sibuk dengan ilmu.” (Bustanul Arifin, Imam Nawawi)
Imam An-Nawawi sorang imam yang terkemuka, Syaikhul Islam, dan banyak menghasilkan karya tulis. Beliau datang ke Damaskus pada tahun 649H dan menetap disana yaitu di Madrasah Ar-Rawahiyah. Beliau berkata tentang diri beliau, “Saya menetap disana selama dua tahun. Selama itu, saya nyaris tidak pernah tidur.” Beliau berhasil menghafal kitab At-Tanbih selama 4,5 bulan dan membaca seperempat kitab Al-Muhazzab dengan hafala.” (Tadzkiratul Huffaz, Adz-Dzahabi)
Inilah keadaan orang-orang shaleh dan kisah-kisah mereka, beginilah seharusnya kita memanfaatkan setiap detik waktu kita. Lalu bagaimana dengan kita? Saudaraku, mereka beruntung sementara engkau terlelap. Mereka meraih kemenangan, sementara engkau meraih tangan kosong. Maka segera kita manfaatkan detik-detik umur kita, tekadkan dalam hati bahwa hari ini kita akan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, memandang setiap kesempatan adalah penting. Mari persembahkan karya yang paling baik dan bermanfat, di usia kita yang pendek ini.
Diselesaikan Magrib, 1 Muharram 1431H / 17 Desember 2009
Ahmad Bin Ismail Khan
ahmad16_ftua@yahoo.com
Bacaan Referensi:
  1. Qimatuz Zaman ‘indal ‘Ulama, SyaikhAbdul Fatah.
  2. Khams Wa ‘Isyrun Wa Mi’ah Li Hifdzil Waqti, Abul Qa’qa Muhammad Bin Shalih.
  3. Beberapa artikel dari internet yang berhubungan dengan menjaga waktu.