Tuesday, 19 November 2013

Memenuhi Hak-hak Pemimpin


Al-Amr (perintah) adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan dalam bentuk yang tinggi. Perintah itu kadang-kadang berasal dari Allah Swt.
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (QS al-A’raf [7]: 54).
Perintah kadang-kadang berasal dari Rasul saw. yang merupakan wahyu sebagaimana, sabdanya:
«فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah ia dan jika aku memerintahkan sesuatu perintah kepada kalian maka ambillah darinya sesuai dengan kemampuan kalian. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perintah kadang-kadang berasal dari seorang suami kepada istrinya; kadang-kadang berasal dari orangtua kepada anaknya; kadang-kadang juga berasal dari amir (pemimpin) dan dialah yang memiliki (hak) memerintah. Amir adalah seseorang yang menangani urusan jamaah yang di antara mereka terdapat urusan yang mengikat bersama. Ia adalah orang yang memiliki wewenang mengeluarkan permintaan untuk melakukan perbuatan dari jamaahnya yang di antara mereka terdapat urusan bersama. Sosok itu mencakup Amîr al-Mu’minîn (Pemimpin kaum Mukmin) dimana terdapat urusan yang mengikat antara dia dengan umat, yaitu penerapan hukum-hukum syariat; mencakup pemimpin partai dan yang mengikat mereka adalah tujuan bersama yang menyebabkan mereka berkumpul di dalamnya; juga mencakup pemimpin perjalanan (amir safar) dan urusan bersama mereka adalah setiap urusan yang berkaitan dengan perjalanan. Jenis perintah inilah yang kita maksudkan dalam pembahasan ini.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan hak-hak pemimpin; baik Amirul Mukmin; orang yang diberi wewenang oleh Amirul Mukminin untuk mengeluarkan perintah seperti amîr al-jaysy (pemimpin pasukan), atau amîr as-sariyah (pemimpin ekspedisi), wali (gubernur/kepala wilayah), ‘âmil, wazîr tafwîdh (pembantu khalifah); amîr al-hizb (pemimpin partai); ataupun pemimpin perjalanan. Hal itu karena nash-nash tentang ketaatan kepada amir (pemimpin) dan hak pemimpin atas orang yang ia pimpin adalah mencakup pemimpin yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Hak bagi pemimpin yang bersifat umum, seperti Amirul Mukminin, bersifat umum; mencakup semua urusan urusan pemerintahan dan pengaturan, karena yang mengikat antara dirinya dengan umat adalah penerapan hukum syariat seluruhnya. Sebaliknya, pemimpin yang bersifat khusus, hak-haknya hanya dalam batas-batas urusan bersama mereka, tidak lebih.
Ada sejumlah hak pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya. Kewajiban orang-orang yang dipimpin atas pemimpinnya antara lain:
1. Percaya (tsiqah) dan berprasangka yang baik.
Tsiqah adalah al-i’timân (percaya), yakni mempercayai apa-apa yang diperintahkan oleh amir (pemimpinan) atas upaya untuk mencapai urusan bersama. Oleh karena itu, umat harus memilih orang yang benar-benar amanah dan terpercaya. Amanah itu tidak berlalu kecuali dengan adanya khianat. Contohnya adalah ketika amir mengubah urusan bersama yang mengikat mereka, menjauhkan dan meniadakan pencapaiannya, atau menggagalkannya. Kesalahan bukan merupakan khianat dan tidak menafikan sifat amanah. Jadi, kesalahan tidak menjadi alasan yang benar untuk menanggalkan kepercayaan pada amir, kecuali jika kesalahan itu banyak dan merupakan kekejian. Artinya, orang-orang yang diperintah hendaklah berprasangka baik kepada pemimpin yang telah mereka angkat. Demikianlah sikap para sahabat r.a. Rasulullah saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Usayd bin Hudhayr:
«اِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً»
Sesungguhnya kalian akan menjumpai ketidaksenangan sesudahku. (Abu Ya’la dan ath-Thabrani).
Jika orang-orang yang diperintah menyadari bahwa pemimpinnya adalah seorang manusia yang bisa benar dan bisa juga salah dan mereka menafikan sifat ma‘shûm (terbebas dari kesalahan) dari pemimpin mereka, maka hal itu merupakan kebaikan bagi pemimpin itu dan bagi mereka. Imam Syafi‘i pernah berkata, “Tidak seorang pun dari kaum Muslim yang terus-menerus menaati Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya; tidak ada seorang pun dari kaum Muslim yang bermaksiat terus-menerus dan tidak pernah menaati-Nya. Siapa saja yang ketaatannya lebih unggul daripada kemaksiatannya maka ia termasuk seorang yang lurus.
Seorang pemimpin tidak dicopot kecuali dengan alasan syar‘î. Alasan syar‘î ini telah dijelaskan secara panjang lebar dalam buku Ahkâm as-Sulthâniyyah.
2. Memberikan nasihat.
Tamim ad-Dari menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا لِمَنْ؟ قَالَ: ِللهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ
وَ ِلأَئِمَةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَتِهِمْ»
“Agama itu nasihat/kesetiaan.” Kami bertanya, “Bagi siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum Muslim dan bagi mereka pada umumnya.” (HR Muslim).
Abu Hurairah juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثاً وَيسَخْطُ لَكُمْ ثَلاَثاً: يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئاً، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعاً وَأَنْ تَنَاصَحُوْا مَنْ وَلاَهُ اللهُ أَمْرَكُمْ…»
Allah Swt. menyukai dari kalian tiga perkara dan Allah membenci atas kalian tiga perkara: kalian menyembahnya dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah; kalian berpegang teguh; kalian menasihati orang yang Allah jadikan sebagai orang yang mengatur urusan kalian…. (HR Imam Malik).
Nasihat itu hendaklah disampaikan secara rahasia.
Jabir bin Nufayr menuturkan bahwa ‘Iyadh bin Ghanam pernah mencambuk seorang penduduk hingga terluka. Lalu Hisyam bin Hakim menyalahkannya dengan perkataan hingga ‘Iyadh marah. Setelah berlalu beberapa malam, Hisyam meminta maaf dan mengemukan alasannya seraya berkata, “Apakah Anda tidak mendengar Rasulullah saw. bersabda:
«إِنَّ مِنْ أَشَدِ النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَشَدُهُمْ لِلنَّاسِ عَذَاباً فِيْ الدُّنْيَا»
Sesungguhnya orang yang paling keras menerima siksaan pada Hari Kiamat adalah orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia. (HR al-Baihaqi, Ibn al-Atsir, dan ath-Thabrani).
‘Iyâdh berkata, “Sungguh, aku juga telah mendengar apa yang engkau dengar dan berpandangan seperti pandanganmu. Masalahnya, apakah engkau tidak mendengar Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانِ عَامَةٍ فَلاَ يَبْدُ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَخُلَّ بِهِ»
Siapa saja yang ingin menasihati orang yang memiliki kekuasaan secara umum maka janganlah menyampaikan nasihat kepadanya secara terang-terangan, tetapi hendaklah secara menyendiri.
Engkau, hai Hisyam, sungguh termasuk orang yang melakukan hal itu ketika Anda menjatuhkan penguasa Allah. Apakah engkau tidak khawatir jika penguasa Allah akan membunuhmu sehingga engkau dibunuh oleh penguasa Allah.”
3. Menaatinya pada selain kemaksiatan kepada Allah.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta ulil amri di antara kalian. (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Abu Hurayrah menuturkan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda:
«مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي»
Siapa saja yang menaatiku, dia telah menaati Allah; siapa saja yang bermaksiat kepadaku, dia telah bermaksiat kepada Allah; siapa saja yang menaati pemimpinku, dia telah menaatiku; siapa saja yang berbuat maksiat kepada pemimpinku, dia telah bermaksiat kepadaku. (HR Mutaffaq ‘alayh).
Anas bin Malik juga pernah menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:
«اِِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإْنْ اِسْتَعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ»
Dengar dan taatilah pemimpin yang diangkat untuk memimpin kalian sekalipun dia seorang budak hitam yang (rambut) kepalanya seperti kismis (kriting). (HR al-Bukhari).
Abu Dzar juga menuturkan:
«أَوْصَانِي رَسُوْلُ اللهِ r أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيْعَ وَلَوْ لِعَبْدٍ مُجْدَعِ اْلأَطْرَافِ»
Rasulullah saw. berwasiat kepadaku agar aku mau mendengar dan taat sekalipun pemimpin itu seorang budak yang hilang anggota badannya. (HR Muslim).
Abu Hurayrah juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«عَلَيْكَ بِالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَعُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَأَثَرَةِ عَلَيْكَ»
Engkau wajib taat (kepada pemimpin) dalam apa yang engkau sukai dan engkau benci, dalam kesempitan dan kelapanganmu, serta dalam keputusan atasmu. (HR Muslim).
Nabi saw. juga pernah bersabda:
«مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah lalu mati maka matinya adalah mati Jahiliah. (HR Muslim).
Rasulullah juga pernah bersabda pada Haji Wada’, sebagaimana dituturkan Abu Umamah al-Bahili:
«اُعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَصَلُّوْا خَمْسَكُمْ وَصُوْمُوْا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوْا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيْعُوْا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوْا جَنَّةَ رَبِّكُمْ»
Sembahlah Tuhan kalian, tunaikanlah shalat lima waktu, puasalah pada bulan Ramadhan, bayarlah zakat harta kalian, dan taatilah orang yang mengatur urusan kalian (amir), niscaya kalian akan masuk surga Tuhan kalian. (HR Ibn Khuzaymah, Ibn Hibban, dan al-Hakim).
Rasulullah saw. juga pernah berkhutbah di ‘Arafah dan bersabda:
«إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيٌ فَاسْمَعُوْا لَهُ وَأَطِيْعُوْا مَا قَادَكُمْ مِنْ كِتَابِ اللهِ»
Jika seorang budak Habsyi diangkat menjadi pemimpin kalian maka dengar dan taatilah selama ia memimpin kalian dengan Kitabullah. (HR Abu Bakar al-Khalal).
Abu Dzar juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«إِسْمَعُ وَأَطِعُ لِمْنْ كَانَ عَلَيْكَ»
Dengar dan taatilah orang yang memimpin kalian. (HR Ibn Abi Hasyim).
Namun demikian, tidak ada ketaatan kepada pemimpin dalam kemaksiatan yang tidak diragukan dan diperselisihkan lagi bahwa hal itu adalah kemaksiatan. Abdullah bin Umar menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda ;
«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِي مَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذاَ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»
Wajib mendengar dan taat atas setiap Muslim dalam apa yang disukai dan yang dibenci selama tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintah untuk berbuat maksiat, ia tidak wajib mendengar dan taat. (HR al-Bukhari dan Muslim).
‘Ali menuturkan bahwa Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
«لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ»
Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kemakrufan. (HR Ahmad).
Di antara ketaatan kepada pemimpin adalah menjalankan semua ketetapan, perintah, dan ‘azimah-nya. Dalam al-Ghiyâts Al-Juwayni menyatakan bahwa Imam wajib secara pasti diikuti dalam apa yang dipandang sebagai hasil ijtihadnya. Melanggar perintah yang diserukan imam secara pasti akan berakibat diperangi, sekalipun perintah itu asalnya zhannî. Kaidah ushul fikih yang masyhur menyatakan:
أَمْرُ اْلإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِراً وَبَاطِناً
Perintah imam harus dilaksanakan secara lahir maupun batin.
Sementara itu, berkaitan dengan ‘azimah, yang dimaksud adalah perintah yang sungguh-sungguh dan penting. Ibn Manzhur berkata di dalam Lisân al-‘Arab: ‘Azamtu ‘alayka. Maksudnya, “Aku memerintahmu dengan perintah yang sungguh-sungguh.” Itulah ‘azimah. An-Nawawi juga menyatakan hal senada. Perintah orang yang menangani urusan kita wajib ditaati, kecuali dalam perkara maksiat. Demikian kata Ibn Manzhur.
4. Melaksanakan keinginan pemimpin sekalipun bukan merupakan ‘azimah (perintah tegas).
Kadang-kadang pemimpin tidak menyuruh secara tegas, tetapi ia menjelaskan keinginannya dengan menguatkan satu perkara atas perkara yang lain. Karena itu, sekalipun di sana terdapat ruang pilihan terhadap perkara yang tidak dikuatkan oleh pemimpin (amir) dan bahwa tidak ada keberatan atas orang yang menyalahi keinginan amir, lebih utama untuk melakukan perkara yang dikuatkan dan dikehendaki amir—jika keinginannya itu semata-mata karena ketamakannya terhadap balasan yang baik di sisi Allah. Ibn ‘Asakir menuturkan riwayat dari Sayf bin ‘Umar. Ia berkata:
Pada saat perang ke Syam, Abu Bakar pernah menulis surat kepada Amr. Isinya demikian, “Sesungguhnya aku mengirimmu untuk suatu aktivitas yang telah Rasulullah saw. serahkan kepadamu suatu kali dan mengkhususkannya kepadamu pada saat yang lain….Sebenarnya aku lebih suka jika Abu ‘Abdullah menggantikanmu, karena itu lebih baik bagimu dalam kehidupan dan kedudukanmu; kecuali perkara itu lebih kamu sukai.”
‘Amr lalu membalas surat itu, “Sesungguhnya aku adalah salah satu di antara anak panah Islam dan sesungguhnya Anda adalah pelemparnya setelah Allah. Karena itu, lihatlah yang paling kuat dan paling afdhal….”
5. Berbicara kepadanya dengan sopan dan tidak menyinggungnya.
Ibn ‘Asakir menuturkan riwayat dari Ibrahim bin Abi ‘Abalah. Ia berkata:
Hisyam bin ‘Abd al-Malik mengutusku seraya berkata, “Wahai Ibrahim, aku telah mengenalmu sebagai kanak-kanak, dan aku telah mengujimu sebagai orang yang besar….Aku mengangkatmu untuk menangani kharaj Mesir.”
Lalu aku berkata, “Sesuatu yang menjadi pandangan Anda, wahai Amir al-Mukminin, semoga Allah memberikan balasan dan pahalanya kepada Anda. Sedangkan sesuatu yang menjadi pilihanku, aku tidak punya hasrat untuk menangani kharaj Mesir, dan aku tidak memiliki kekuatan.”
(Ibrahim berkata), Hisyam pun marah dan memerah wajahnya; kedua matanya melotot. Hisyam memandangku dengan pandangan murka kemudian ia berkata, “Engkau mengurusinya dengan taat atau dengan tidak suka!”
Lalu aku diam hingga aku melihat kemarahannya telah reda dan wajahnya telah berbinar. Aku lalu berkata, “Wahai Amir al-Mukminin, bolehkan aku berbicara?”
Ia berkata, “Ya.”
Aku berkata, “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman dalam al-Quran:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. (QS al-Ahzab [33]: 72).
Karena itu, demi Allah wahai Amir al-Mukminin, Allah tidak marah kepada mereka ketika mereka menolak dan tidak membenci mereka ketika mereka tidak suka menerima amanah itu. Lalu pantaskah Anda marah kepadaku ketika aku menolak? Janganlah membenciku ketika aku tidak mau (menerima amanah Anda).”
Lalu Hisyam tertawa hingga nampak gigi gerahamnya, kemudian berkata, “Wahai Ibrahim engkau menolak tidak lain karena engkau orang yang paham. Sungguh, aku rela terhadap (pilihan)-mu dan memaafkanmu.”
6. Memenuhi perintahnya dan tidak menyalahinya.
Abu Sa‘id juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ. أَلاَ وَلاَ غَادِرَ أَعْظَمُ غَدْراً مِنْ أَمِيْرٍ عَامَةٍ»
Setiap pengkhianat, pada Hari Kiamat kelak, akan diberi bendera sesuai dengan tingkat pengkhianatannya. Ingatlah pengkhianat yang paling besar adalah yang mengkhianati pemimpin umum (imam, khalifah). (HR Muslim).
7. Bersabar terhadap apa yang tidak disukai dari pemimpin.
Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ قَيْدَ شِبْرٍ فَيَمُوْتُ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa yang melihat dari amirnya sesuatu yang ia benci, hendaklah ia bersabar atasnya, karena sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja lalu mati, kematiannya seperti mati jahiliyah. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sahal bin Mu‘âdz—dari bapaknya— menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ كَظِمَ غَيْظاً وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِ الْحَوْرِ شَاءَ»
Barangsiapa yang menahan kemarahan sedangkan ia mampu melampiaskan kemarahannya itu, pada Hari Kiamat, Allah akan menyerunya atas kepala-kepala para makhluk hingga ia memilih tempat tinggal yang ia inginkan. (HR al-Baydhawi).
8. Memuliakan Pemimpin dan Melindunginya baik ia ada atau sedang tidak ada (ditempat itu).
Abu Bakrah menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ تبَاَرَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Barangsiapa yang memuliakan sulthan (penguasa) Allah Swt. di dunia maka Allah memuliakannya pada Hari Kiamat; barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah Swt. di dunia maka Allah menghinakannya pada Hari Kiamat kelak. (HR Ahmad).
Abu Musa al-‘Asy‘ari juga menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:
«إِنَّ مِنْ إِجْلاَلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِكْرَامُ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَلاَ الْمُجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامُ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ»
Di antara keagungan Allah Yang Maha Agung adalah memuliakan orang Muslim yang telah beruban; orang yang mengemban al-Quran, tidak menipu di dalamnya, dan tidak busuk; orang yang memuliakan penguasa yang adil. (HR al-Bayhaqi).
Jabir juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«مَا مِنْ امْرِئٍ يُخْذِلُ مُسْلِماً فِي مَوَطِنِ يَنْتَقِصُ فِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ وِيَنْتَهِكُ فِيْهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلاَّ خَذَلَهُ اللهُ فِي مَوَطِنِ يُحِبُّ فِيْهِ نُصْرَتَهُ، وَمَا مِنْ أمْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِماً فِي مَوَطِنِ يَنْتَقِصُ فِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيَنْتَهِكُ فِيْهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلاَّ نَصَرَهُ اللهُ فِي مَوَطِنِ يُحِبُّ فِيْهِ نُصْرَتَهُ»
Tidak seorangpun yang merendahkan seorang Muslim ditempatnya, mengurangi kehormatannya, dan melanggar kemuliaannya kecuali Allah merendahkannya di tempatnya yang ia sukai pertolongannya; tidak ada seorangpun yang menolong seorang Muslim di tempat yang dikurangi kehormatannya dan dilanggar kemuliannya kecuali Allah menolongnya di tempat yang disukai pertolongannya. (HR al-Bayhaqi, Abu Dawud, dan ath-Thabrani).
Abu Darda’ mengatakan bahwa seorang laki-laki pernah mendapat pemberian dari seorang laki-laki yang lain di sisi Rasulullah, lalu laki-laki itu membalas kebaikan laki-laki yang memberinya. Rasulullah saw. kemudian bersabda:
«مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ كَانَ لَهُ حِجَاباً مِنَ النَّارِ»
Barangsiapa yang membalas kebaikan saudaranya maka baginya hijab dari api neraka. (HR al-Bayhaqi).
Ibn ‘Asakir dan adz-Dzahabi meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar dan yang lain berkata, “Tidaklah ‘Umar bertemu Usamah kecuali beliau mengucapkan, “Semoga keselamatan dilimpahkan bagi Anda, wahai Pemimpin. Semoga rahmat dan barakah Allah tercurah kepada Anda, wahai Amir yang diangkat oleh Rasulullah. Bagiku, engkau adalah pemimpin.”
9. Menjaga rahasianya.
Rasulullah saw. bersabda:
«مِنْ أَسْرَقِ السُّرَاقِ مَنْ يَسْرِقُ لِسَانَ اْلأَمِيْرِ»
Di antara pencurian yang paling besar adalah orang yang mencuri perkataan pemimpin. (HR ath-Thabrani).
Ahmad meriwayatkan dari Ath-Thabrani meriwayatkan dari jalan ‘Amir asy-Sya‘bi, dari Ibn ‘Abbas. Ia berkata, bahwa Ibn ‘Abbas pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya Amir al-Mukminin menyerumu serta meminta kamu mendekat dan meminta pendapatmu bersama para shahabat Rasulullah saw. Karena itu, Jagalah dariku tiga perkara: bertaqwalah kepada Allah, jangan sampai kedustaan mencederaimu; janganlah kamu menyebarluaskan rahasia; dan jangan kamu menggibah seorang pun di sisinya.”
‘Amir berkata, “Aku berkata kepada Ibn ‘Abbas, ‘Pada masing-masingnya terdapat sepuluh ribu kebaikan.’”
10. Tidak menyebut-nyebut keburukan seseorang di hadapan pemimpin.
Abdullah bin Mas‘ud menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يَبْلُغُنِي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ شَيْئاً فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيْمُ الصَّدْرِ»
Janganlah seseorang menyampaikan kepadaku tentang seseorang satu keburukannya. Aku lebih suka keluar menghampiri kalian, sementara dada (hati)-ku selamat. (HR Ahmad).
Abdullah bin ‘Umar berkata:
Aku pernah berada di sisi Nabi saw. ketika Harmalah bin Zayd datang kepada beliau dan duduk di hadapan beliau. Ia lalu berkata, “Wahai Rasulullah saw., iman itu ada di sini—dia menunjuk ke bibirnya—dan nifak itu di sini—dia menunjuk ke dadanya; ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit.”
Nabi saw. diam. Karena itu, Harmalah mengulang-ulang ucapannya itu kepada Nabi saw. hingga akhirnya terdiam. Nabi saw. kemudian memegang ujung bibir Harmalah seraya berdoa:
«اَللَّهُمَّ اِجْعَلْ لَهُ لِسَاناً صَادِقاً وَقَلْباً شَاكِراً وَارْزُقْهُ حُبِّي وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّنِي وَصِيْرَ أَمْرَهُ إِلَى الْخَيْرِ»
Ya Allah, anugerahkan kepadanya lisan yang jujur, dan hati yang bersyukur; anugerahi dia kecintaanku dan kecintaan orang yang mencintaiku; dan teruskanlah perkaranya kepada kebaikan.
Lalu Harmalah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki saudara-saudara dari kalangan orang-orang munafik. Aku diantara mereka termasuk orang terhormat. Perlukah aku tunjukkan mereka kepada Anda?”
Rasulullah menjawab, “Tidak seorangpun yang datang kepada kami seperti engkau mendatangi kami. Kami memintakan ampunan baginya sebagaimana kami memintakan ampunan bagimu. Barangsiapa yang terus dalam dosanya maka Allah lebih utama (menghukum)-nya, dan jangan kau merobek penutup seseorang.” (HR ath-Thabrani).
11. Menghilangkan kesusahan hati pemimpin ketika dalam kesempitan.
Jabir berkata:
Abu Bakar pernah datang dan meminta izin kepada Nabi saw., sementara orang-orang duduk di depan pintu Nabi. Beliau tidak memberi izin kepada Abu Bakar. Kemudian ‘Umar datang dan meminta izin. Beliau pun tidak memberikan izin kepada ‘Umar. Kemudian beliau memberikan izin kepada keduanya, lalu keduanya masuk, sementara Nabi saw. sedang duduk-duduk bersama para istri beliau. Beliau diam saja. Lalu ‘Umar berkata, “Sungguh, aku akan berbicara kepada Nabi hingga beliau tertawa.”
Lalu ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah saw., seandainya aku melihat binti Zayd—istri ‘Umar— meminta nafkah kepadaku barusan, maka aku pukul lehernya.”
Rasulullah tertawa hingga tampak gigi gerahamnya. Beliau berkata, “Mereka di sekitarku, seperti yang engkau lihat, sedang meminta nafkah kepadaku.” (HR Ahmad). [Yahya Abdurrahman/diterjemahkan dari majalah alwa'ie edisi bahasa arab)

0 comments: